Sabtu, 10 Agustus 2013

Cerita Sore

Di belakang rumah dengan hamparan rumput, dan beberapa pot bunga yang dengan cantik berjejer dengan apik, seorang gadis duduk termenung. Sambil berpikir keras ia menatap layar laptopnya, entah apa yang ada di dalam sana, sehingga masing-masing alisnya kini beradu.
Tulisan itu begitu menghidupkan rasa penasarannya, menghidupkan imajinasinya dan menghidupkan beberapa memorinya yang pernah tenggelam lama.
Ia terus menuruni kursornya ke bawah, masih terlihat bingung ia pun kembali menggerakan kursornya ke atas. Tulisan di layar tersebut begitu membingungkan untuk ia cerna. Ia mencoba mengingat sosok yang ada di tengah-tengah layar laptopnya. Heran dan bingung kini memasuki alam bawah sadarnya.

"Bukankah ini cerita ku yang kukirim pada sebuah majalah minggu lalu, kenapa sekarang cerita ini diterbitkan namun tidak memakai namaku, dan konfirmasi dariku"
Ia menggelengkan kepalanya, kini kursornya berhenti kepada sebuah nama.
"Astaga", kini ia kini terperanjat, tidak menyangka nama tersebut tertulis, ia kemudian mencari tahu nomer penerbit tersebut menanyakan kebenaran, membongkar pertanyaan dirinya sendiri.

Setelah didapatnya nomer penerbit, kemudian ia mengambil ponsel dalam tas gendongnya, memijit nomer yang tertera pada halaman website dan beberapa detik kemudian ia marah. Ya, gadis ini marah besar ketika nada sambung terus terdengar tanpa ada jawaban. Gadis ini mengumpat kesal. Ia kembali menjalani kursornya ke atas dan ke bawah, sambil berharap menemukan titik kebenaran, tanpa harus mendengarkan nada sambung. Namun nihil, hasilnya tetap sama, satu-satunya harapan dia adalah nomer telepon penerbit yang keberadaanya sulit diketahui.
Ia tidak mau ambil pusing, kemudian ia pergi ke kamar mandi dan mendinginkan seluruh tubuh serta kepalanya, berharap dengan melakukan hal yang demikian ia menemukan sumber-sumber yang membawa kembali kepada pikiran yang jernih. Ia keluar dari kamar mandi, menemukan sepucuk surat di meja kerjanya. “Mbak, ini surat dari siapa?”, ia bertanya pada penjaga rumahnya. “Tidak tahu non, saya menemukannya di halaman depan” penjaga rumah kemudian keluar, dan tanpa ragu-ragu diambilnya surat itu.
"tumben" katanya dalam hati

Perlahan ia buka surat itu, yang ada dalam benaknya kini hanya ada rasa penasaran dan selebihnya ia terlampau santai untuk membukanya.

'Terima Kasih untuk ceritanya' hanya tulisan itu saja yang ada dalam sepuncuk suratnya. Ia membolak balik kertasnya meyakinkan dirinya sendiri, bahwa hanya ada tulisan itu saja. Wajahnya bingung, sambil mengeringkan rambut, ia membawa surat itu keluar rumah, mencari tahu, si pembawa surta misterius itu. Berharap sang pengantar surat ada di luar dan masih mengintip. Ia tatap sekeliling mencari kebenaran. Nihil, tidak ada seorang pun di luar rumahnya.

ia menggoyang-goyangkan kertas misterius itu, berharap dapat menangkap makna dibalik tulisannya. Ah sudahlah, orang iseng. pikirnmya.
secangkir teh manis hangat sudah menanti dibalik pintu ruang makannya. Kesepian menghinggapi setiap jengkal udara yang ada di ruangan tersebut. Apalagi ini... dia membenamkan wajahnya perlahan dalam kesepuluh jarinya meratapi segala sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sama sekali.

Ucapan 'terima kasih' yang ditulis sang pengirim misterius itu terlihat sangat akrab dalam dirinya. Ia tahu di luar sana pasti ada yang mengenalnya secara dekat, secara nyata. Namun siapa....

Dua bulan berlalu, ia gagal menerbitkan tulisannya di dalam majalah favoritnya, minggu yang lalu pun begitu, tulisannya tidak dimuat di dalam koran. Hatinya berkecamuk. Tidak biasanya ia menyerah, dan memalingkan diri. Tidak biasanya. Namun, setelah tulisannya dimuat, dan justru bukan namanya sendiri, ia merasa saatnya sudah selesai. Kecewa adalah sebuah kejelasan yang tergambar jelas. Ia tahu kejatuhannya sudah tiba.

Surat misterius itu datang lagi. Bahkan di dalamnya ada sebuah kaset rekaman. Tidak ingi membuang waktu, gadis itu menyetelnya...



Rabu, 07 Agustus 2013

Surat Permohonan

Aku punya dua surat permohonan. Satu untuk Tuhan.
Satu lagi untuk kamu.
Isinya sama.
Namun surat itu belum dilihat Tuhan.
Tuhan menunggu kamu juga mengirim surat yang sama kepada-Nya
Ia ingin melihat kegigihan kita berdua.
Kalau hanya aku saja, Tuhan tidak setuju. Ia tidak ingin aku berjuang sendiri dan terluka terlalu jauh.
Sudahkah kamu mengirimkan surat untuk Tuhan? Satu kalimat saja =')

Namun aku selalu kuatir. Isi surat kita berbeda. Mungkin Tuhan akan mecari alternatif lain. Entah apa. Ia kan pandai memberi kejutan.

Follow my Twitter @_heniie