Sabtu, 29 Oktober 2011

Owwwwlllllllllllllllll Ciittyyyyyyyyyyyyyyyyy :*




Suka banget sama Adam aka Owl City.
Kenapa? disamping lagu-lagunya yang enak, lirik-liriknya yang pas dihati,
Apalagi pas dia nyanyi lagu ini (In Christ Alone) , tambah jatuh cinta dah <3

Rabu, 19 Oktober 2011

Tentang Nasehat

kata penulis Amsal. Orang BIJAK itu mendengarkan nasehat dan melakukannya. kata Amsal juga orang BEBAL itu mengacuhkan nasehat dan melakukan sekehendak hatinya.
Nah... permasalahnnya sekarang aku adaah manusia setengah bijak dan setengah bebal.
ada beberapa nasehat mama/keluarga/teman yang aku terima, aku sadar, dan aku melakukannya. "Oh ya, aku salah. bla bla bla"
Namun, ada yang aku terima saja guna menyenangkan hati mereka yang sudah susah payah berkhotbah tentang nasehat itu sendiri. ya.. kalo prakteknya tunggu dulu, semua proses, dan bahkan aku menggerutu "coba, Anda di posisi saya, apakah Anda masih  bisa berkata demikian, setelah seluruh kejadian ini menimpa Anda. ha?!!!"
atau menggerutu "Ngomong ajah gampang, tapi sendirinya nggak bisa praktek. Dasar Nato" atau gerutu-gerutu yang selalu dilontarkan orang bebal ketika nesehat itu nggak sesuai sifatnya.

Orang bebal itu terkadang menjadi bijak ketika dia tahu, nasehat tersebut nggak selamanya benar. Orang bebal bisa menerima nasehat juga kok. Orang bebal akan sadar nasehat itu patut atau tidak, dari sikap sang pemberi nasehat.
Misalnya "jangan suka mencuri mangga tetangga lagi"
tap si pemberi nasehat masih suka buang sampah sembarangan. Mana yang bisa dipercaya? Konteks membuang sampah dan mencuri mangga memang berbeda, tapi sikapnya tetap saja negatif.

jadi, ada baiknya menyaring segala nasehat, tapi jangan lupa bercermin dari si pemberi nasehat itu sendiri. Bebal boleh ketika nasehat hanya sebatas uap. dan menjadi Bijak memilih nasehat itu sagat diwajibkan. Ketika kita tahu, kita tidak 'mencuri mangga', ketika itu pula kita melakukan 'jangan membuang sampah sembarangan' , jadi perubahan dalam hidup itu nggak setengah-setengah.

Senin, 17 Oktober 2011

kematian dan kebahagiaan

beberapa akhir ini aku merenung. merenung tentang beberapa hal yang semuanya berada di lingkaran nalar manusia.
renungan tersebut adalah KEMATIAN. menurutku, itu adalah sesuatu yang menakjubkan, menyedihkan, mengharukan, sesuatu yang abstrak yang nggak bisa digambarkan.
Menurut kepercayaanku, dan pemahaman tentang percaya penuh akan janji Yesus, kematian merupakan sesuatu yang menggembirakan. Suatu janji Tuhan atau karya Tuhan yang akan ditunjukannya melalui cara ini. yang pasti di dalam alkitab kematian adalah sebuah keuntungan. jadi, kesedihan akan kehilangan raga sesorang tidak boleh terlalu berlebihan.

aku pernah mengalaminya. keluargaku menjadi salah satu karya Tuhan menunjukan semua keajaiban-Nya, melalui kematian. namun, yang menjadi persoalan mengapa semuanya begitu cepat dilakukan.
aku kehilangan kakek (mbah kakung) yang paling aku sayang. awalnya memang aku kesal, karena harus menunggui dia di rumah sakit, lama kelamaan setelah dia dipanggil Bapa, aku kehilangan sosoknya. sosok yang mampu membuat aku merindukan kampung halaman.
teringat memori bersama mbah kakung. waktu kecil aku selalu tidur bersamanya. aku merangkul tangannya dari malam hingga pagi. kami selalu minum kopi setiap sore di beranda rumah. ke kebun mama pada pagi hari. memanen setiap kelapa, mengambil kopi, dan mengunjungi pohon mangga yang masih tumbuh pada saat itu. pada saat ia sakit, aku menyesal nggak bisa memerlakukan dia secara baik. karena menurutku, ia menghalangi jadwal liburanku. menyesal bukan main sekarang. tetapi kematian harus memisahkan rasa rinduku padanya, rasa kangenku padanya, dan rasa sesalku padanya. aku senang dia sudah nggak merasakan sakit lagi. aku juga senang karena Yesus lebih sayang mbah kakung dibandingkan aku dan keluargaku yang lain. ya, kejadian itu dua tahun yang lalu =)

setelah itu pamanku (pakle) menjadi karya Tuhan berikutnya. ia dipanggil Bapa dengan cara yang 'aneh'. tapi biarlah itu menjadi rahasia Semesta saja. aku memang tidak terlalu dekat dengannya. namun aku tahu kesedihan hati isterinya. pakle cukup misterius menjalani kebersamaan dengan Tuhan. sehingga aku nggak pernah tahu bahwa ia sering ke gereja. aku cukup bangga dengan pakleku yang satu itu. ia anak kesayangan mbah kakung. dan bagaimanapun dia, sekalipun dia tidak dekat dengannya. namun, aku cukup bangga sudah mengenalnya.

ratapan berikutnya terjadi dari semua teman-teman dekatku dan teman dekat mamaku. ayah, suami, saudara mereka menjadi karya Tuhan berikutnya. aku merenung betapa semua ini diluar dari nalar manusia. semua ini nggak bisa dijelaskan. semua sedih, kecewa, meratap, pasrah. entah ekspresi apa lagi yang harus mereka keluarkan untuk menggambarkan rasa itu. aku melihat isteri yang ditinggalkan suaminya untuk pergi jauh. air mata mereka deras, anak-anak mereka begitu terlihat diam. ibu mereka tabah, saudara mereka tersenyum tegar. selain itu mereka diwajibkan untuk bersuka cita karena mereka selalu percaya kasih Tuhan selalu menyertai mereka, walaupun mereka sudah ditinggalkan kawan hidupnya.

ya, begitulah tentang kehilangan, kesabaran, ketabahan, dan kebahagian sebagai orang percaya kepada Yesus. bahwa segala sesuatu yang direncanakan-Nya memiliki maksud, ntah apa, yang ku tahu maksud dan tujuan itu pasti baik

Jumat, 07 Oktober 2011

Nona Anggrek dan Langit Pertama



Aku menembak dengan ketapelku secara fokus untuk mendapatkan satu penuh batang rambutan. Dengan hati-hati akhirnya rambutan itu jatuh. Aku menatap bahagia pada rambutan-rambutan tersebut. Tetapi mataku tetap awas melihat pintu rumah sang pemilik kebun. Clara dan Tirta terus memanggilku dari kejahuan, agar aku dapat segera pergi dari kebun itu dan tidak lupa dengan rambutan yang sudah jatuh untuk diambil. Akhirnya, kuambil rambutan dan kupanjat pagar yang membatasi kebun tersebut dengan jalan umum. Aku loncat dengan kaki kiri dan berhasil.

Rumah itu sederhana dan memiliki kebun yang sangat luas, sehingga siapapun yang melihatnya pasti akan mampir dengan segera. Sayangnya, rumah tersebut ditinggali oleh seorang wanita muda. Para tetangga menyebut dia, Nona Anggrek. Ntah mengapa namanya Nona Anggrek, apakah ia cantik seperti bunga anggrek, atau namanya yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan yang menjadi ciri khas dari halaman rumahnya. Tetapi Nona Anggrek sudah menjadi tetangga yang taat membayar pajak, dan membayar iuran wajib di kompleks rumah ini. Ia sangat misterius, sehingga mengundang banyak ketakutan di wajah anak-anak remaja kecuali aku. Aku mungkin salah satu remaja yang pura-pura berani mendatangi rumah Nona Anggrek, itu juga saat pohon mangga dan pohon rambutannya mulai memunculkan buah-buah segar dari setiap batangnya. Sejak saat itulah aku sangat menyukai Nona Anggrek, bukan kepada sang pemilik nama, namun lebih tepat sang pemilik kebun dengan buah-buah yang dapat kupanen tanpa harus mengatakan ‘permisi’ kepada si misterius Nona Anggrek

Pukul tiga sore aku pergi berjalan-jalan dengan Tirta, Clara, dan Quillon. Mereka mengajakku bermain layang-layang di lapangan yang letaknya tidak jauh dari rumah kami. Aku membawa tiga layangan kecil, Tirta membawa satu layangan besar bergambar ikan koi dan gambarnya pun entah mempunyai makna atau tidak, Quillon membawa benang panjang untuk persediaan jika kelak benang layangan kami putus, sedangkan Clara hanya membawa boneka kesayangannya yang diberi nama ‘ula’. Clara berjalan lebih cepat ketika melewati rumah Nona Anggrek. Quillon hanya tertawa melihat tingkah Clara dan Tirta menarik tanganku dengan cepat.

“Xena ayo!” teriak Clara. Aku masih tersenyum dan malah membalikkan badanku ke rumah Nona Anggrek. Aku rasa ada yang sedang mengintip lewat jendela yang berwarna hitam itu. Penasaran aku mendekati rumah itu, namun ketika itu juga Tirta sudah menarik tanganku. “mau ngapain kamu Xena?”

“oh nggak. Hem.. aku penasaran saja masih ada rambutan yang merah atau tidak ya di pohon itu” aku menunjuk pohon rambutan yang aku ketapel kemarin siang.
“Ah sudahlah. Jika Nona Anggrek tahu kamu mengambil rambutan-rambutan dari salah satu pohon di kebunnya, mungkin saja ia akan mejadikanmu pupuk buatan selanjutnya. Oh… jangan sampai seperti itu ya Xena. Takut sekali aku mendengarnya.” Tirta menasehatiku panjang lebar. Namun Nona Anggrek pasti tidak akan membuat aku menjadi pupuk buatannya, seperti yang dikatakan Tirta. Konyol sekali Tirta. Aku tersenyum setengah tertawa.

Lapangan ini sudah mulai dipadati banyak orang. Dari yang dewasa sampai anak kecil sekalipun. Masing-masing mereka membawa layangan andalannya. Clara masih sibuk dengan bonekanya sambil mengeluh, mengapa ia harus diajak permainan laki-laki. Kemudian Clara mengomeliku “Xena, bisa lebih feminim lagi tidak? Sikapmu seperti Tirta dan Quillon. Kita ini sudah SMP. Masih saja kamu suka memanjat pagar rumah Nona Anggrek, dan ini ya sekarang ini ada di lapangan aduh Xenaaaaa.” Clara menarik nafasnya. Aku terkekeh mendengar Clara. Clara kemudian mencari pohon ntuk tempat berteduh, sambil kipas-kipas ia kemudian duduk bersilang memerhatikan kami bertiga menaruh layangan di tanah. Sampai pada akhirnya layangan tersebut terbang tinggi.

Aku meloncat gembira melihat layangan sudah berada jauh dari bumi. Tinggi layangan itu kini menyentuh langit lapisan pertama. Lapisan pertama menurutku. Biru tanpa awan kini semakin berwarna ketika puluhan layang-layang berada di sentuhan pertama langit-langit dunia. Tempat bermainku jauh dari lokasi kota-kota besar. Perkampungan ini membuatku nyaman, aku bisa bermain dengan bebas tanpa halangan dan hambatan kecuali keberadaan Nona Anggrek yang masih misterius.

Tidak berapa lama ketika sudah bosan bermain dengan layang-layang kecil, kami beralih ke layangan yang lebih besar. Berharap angin akan terus bersahabat ketika kami menaikan benda yang sama namun ukuran yang bebeda. Sayangnya, layang-layang kami yang paling besar putus. Dihantam angin entah kemana. Tirta terlihat menyesal telah menerbangkan layang-layang itu. Ia menatapku semu, bahkan mencoba menghapus air matanya seperti anak sekolah dasar. Quillon kemudian menatap kearah langit lapisan pertama. Clara beranjak dari tempat duduk setelah sekian lama. Dan kemudian berceloteh “sudah kubilang, permainan anak laki-laki selalu membuang mainannya sendiri.” Tirta nampak mulai kesal dengan ucapan Clara, dan membalasnya dengan tajam “Daripada perempuan, hanya bisa bersembunyi. Ya contohnya Nona Anggrek.”

Aku melihat keduanya beradu mulut, semua bermula dari celotehan Clara dan nama Nona Anggrek disebut. Quillon kemudian mencoba meleraikannya. Gagal, mereka terus bertengkar hingga menjelang petang. “Tahun depan kita sudah lulus SMP. Kalian mau bertengkar sampai lulus kelak?” aku menaikan nada suaraku, mencoba menghentikan pertengkaran mereka. Kemudian mereka diam, dan berhenti beradu mulut. “Pulang” kataku singkat.

Di dalam hatiku yang paling dalam ada suatu protes yang tidak bisa diucapkan. Clara yang meremehkan layang-layang buatanku, Tirta yang menyebut nama Nona Anggrek sebagai seorang wanita yang selalu diam di tempatnya. Hal ini membuatku berpikir dan terus berpikir. Kamipun pulang, acara bermain kali ini bukan sesuatu yang baik untuk dikenang.

Jarak sekolah dan rumah memang dapat ditempuh dengan jalan kaki, sehingga secara tidak langsung rumah Nona Anggrek harus aku lewati, karena jalan tersebut berada dalam satu arah. Aku melihat sesuatu yang aneh pagi ini. Sesuatu yang berbeda. Pintu rumah Nona Anggrek terbuka cukup lebar. Sayangnya, rasa penasaranku kembali terhapus, ketika suara langkah Quillon mendatangiku. “Clara dan Tirta sepertinya masih marah-marahan. Ah.. mereka selalu seperti itu. Sehari bertengkar dan sehari baikan” Quillon menyerocos tiba-tiba. Kini niatku untuk penasaran harus ditunda dulu. Quillon seperti manusia abstrak yang hadir tiba-tiba. Kadang aku suka cara dia membuyarkan lamunan bodohku, tapi untuk kali ini aku tidak suka karena dia menghalangi rasa penasaranku.

Tirta dan Clara kini sudah tidak bertengkar lagi, mereka sudah tertawa lagi. Aku selalu berharap persahabatan kami selalu seperti ini. Bukan seperti persahabatan orang dewasa yang sehari bertengkar selamanya bermusuhan. Aku senang sekali hari ini. Bukan.. bukan karena Tirta dan Clara sudah tidak bertengkar lagi, itu sudah biasa buatku, namun lebih dikarenakan pintu rumah Nona Anggrek sudah terbuka. Kupikir ini langit pertama yang dapat kusentuh. Rasa tertarikpun kini sudah manari-nari untuk aku iringi. Aku suka sekali rasa penasaran ini, apalagi terhadapa Nona Anggrek, pemilik kebun yang sudah kuambil hasil kebunnya. Jadi aku berpikir, setelah pulang sekolah akan aku datangi rumah Nona Anggrek dan berbicara dengannya. Berbicara tentang apa saja, ya apa saja termasuk berkata jujur tentang buah rambutannya yang sudah kupanen diam-diam.

“Kalian duluan ya. Aku ada perlu sama Pak Beni” aku mencoba berbohong. Agar tidak ada lagi yang mengganggu rasa penasaranku terhadap Nona Anggrek dan pintu rumahnya atau kusebut langit pertamanya. Clara tidak setuju dengan izinku, lalu meminta mereka agar pulang duluan, Clara ingin kami pergi dan pulang selalu bersama. Clara pun berjanji akan setia menunggu, jika urusanku dengan Pak Beni selesai. Otakku mencoba mencari celah kebohongan dan dapat aku keluarkan sebagai argumen untuk Clara.

Quillon menatapku tajam penuh curiga, sedangkan Tirta menunggu dengan tenang. Untuk kali ini Quillon adalah orang yang paling sulit aku bohongi. Tirta mungkin sudah tahu maksudku akan mendatangi rumah Nona Anggrek, karena ia sempat memergoki aku untuk masuk ke dalam rumahnya, tampaknya Tirta bukan orang yang serba kuatir tentang aku. Dia nampak percaya penuh. Dia tahu aku selalu berhasil masuk dan keluar dengan selamat dari rumah itu. Buah mangga dan rambutan selalu berhasil keluar dari pagar pembatas halaman rumah Nona Anggrek, apalagi tubuhku, pasti bisa lolos juga.

“Sudahlah, jika Xena punya urusan dengan Pak Beni. Mengapa kita harus membatasinya? Lagi pula Pak Beni adalah guru walinya Xena dan pasti Xena tidak nyaman berbincang dengan Pak Beni, kalau kita menunggu dia sampai selesai. Xena kan bukan anak sekolah dasar lagi yang harus ditunggui. Ingat tahun depan kita akan masuk SMA, jadi perlu belajar mandiri juga mulai sekarang.” Tirta kemudian mengeluarkan suaranya yang sejak tadi diam. Aku bernafas lega, tersenyum seperti tanda mengucapkan terima kasih kepada Tirta atas ucapannya. Kini, Quillon tidak lagi menatapku curiga, ia menyerap kata-kata Tirta dengan baik. Sedangkan Clara berhenti membujuk, karena ia tidak bisa melawan Tirta yang semakin hari semakin cerdas untuk beragumen. Clara dan Quillon akhirnya beranjak dari tempat duduk lalu menuju pintu gerbang sekolah. Tirta menatapku sebentar lalu mengatakan “Hati-hati. Nona Anggrek belum kita kenal sama sekali. Jika terjadi apa-apa cepat lari dari rumah itu” Tirta berhasil membaca pikiranku, membaca maksudku. Tetapi tidak menghalangiku untuk melakukannya.

Setelah siap hati dan mental, kemudian aku beranjak pulang. Bukan menuju rumahku, namun rumah Nona Anggrek yang pintunya terbuka tadi pagi. Semoga siang ini pun masih terbuka lebar juga. Panas yang sangat terik membuat kepalaku sedikit pusing dan sedkit-sedikit aku mengelap keringat yang ada di kening. Kemudian sesuatu yang buruk mulai menghampiri, tiba di belokan menuju jalan rumah Nona Anggrek, aku ditabrak motor yang sedang menggapai kecepatannya. Aku pingsan kemudian semua menjadi gelap dan rasanya pusingku bertambah dua kali lipat.

Bau obat terasa dalam sekejap di hidungku. Ketika aku membuka mata, air putih sudah menyambutku dari tangan seorang wanita. Dengan pasrah kuambil air putih dari tanganya dan meminumnya. Masih terasa pusing, aku mencoba bangun dan kulihat tanganku sudah diberi obat merah. “Masih pusing?” wanita itu bertanya ramah. Aku diam lama, mataku aku sipitkan supaya dapat melihat jelas. Tersentak aku kaget, jahitan di mukanya menunjukan suatu kengerian yang luar biasa. Aku bangun kini aku mengucek mataku agar lebih jelas lagi melihat wanita itu. Ia mengulurkan tangan dan membantuku bangun. Kini dia berkenalan ramah “Nona Anggrek.”

Jawaban yang selama ini dinantikan, pertanyaan yang selama hanya bisa kutebak sendiri, kini semua terjawab pada waktunya, dengan sendirinya objek jawaban tersebut menjadi subjek seketika. Mataku berputar seisi ruangan rumah itu, ada layangan besar yang berdiri di sana, bergambar ikan koi. Layangannya mirip buatanku, dan gambarnya mirip seperti buatan Tirta. Aku tersenyum kepada Nona Anggrek. Antara tersenyum takut dan tersenyum segan atas kebaikannya dan tersenyum atas kebodohanku. Aku senang bertemu dengan Nona Anggrek dengan cara yang salah.

Aku berbincang lama dengan Nona Anggrek. Ia tidak semisterius yang dipikirkan anak remaja. Ia seorang janda. Suaminya meninggal karena kecelakaan mobil pada saat pulang kampung ke Solo. Sedangkan anaknya juga ikut meninggal dalam kecelakaan itu. Bekas jahitan yang ada di wajahnya merupakan bekas kecelakaan pada waktu itu. Dia menceritakan semuanya kepadaku. Dia juga tahu aku sering memanjat pagar halamannya untuk mengambil rambutan yang ada di salah satu pohon peliharaanya, dan ia juga tahu aku sering menengok rumahnya ketika ia memerhatikanku. Sehingga ia membuka pintu rumahnya siapa tahu aku mau masuk dan tidak lagi memelihara rasa penasaran terhadapanya.

Nona Anggrek mengatakan buah-buah yang ada di halamannya memang untuk dikonsumsi bukan untuk dipajang saja. Siapapun berhak mengambil buah itu, karena Nona Anggrek bukan pencipta dari buah itu, ia hanya dititipkan oleh Semesta untuk dirawat, dan selebihnya untuk dimakan. “Ya buah itu untuk siapa saja yang mau. Untuk apa ditanam tetapi tidak diambil dan dimakan” ia tersenyum mengakhiri ceritanya.

Aku jadi teringat pada bunga anggrek, anggrek adalah bunga yang sangat sulit dirawat namun ketika sudah mengetahaui cara merawatnya ia akan memberikan keindahannya untuk dilihat dan dirasakan. Anggrek sering dipergunakan sebagai simbol dari rasa cinta, kemewahan, dan keindahan selama berabad-abad. Sama seperti Nona Anggrek, jika,berhasil menembus rasa misterius itu maka akan menemukan suatu keindahan juga di dalamnya.

Sebelum petang datang aku harus pulang. Rasanya tidak puas berbincang sebentar dengan Nona Anggrek. Nona Anggrek mengundang aku dan ketiga temanku untuk makan buah hasil dari pohon-pohon peliharaannya dan minum teh bersama di rumahnya besok sore. Dan untuk pertama kalinya aku tidak melewati pagar untuk keluar rumah namun lewat pintu masuk yang sudah terbuka dengan permisi juga aku keluat. Tentang layangan itu, aku relakan ia tetap ada di rumah Nona Anggrek untuk menembus celah-celah langit yang lainnya, bukan hanya langit pertama.




Nama : Xena
Hobi : menjadi Henii


Follow my Twitter @_heniie