Minggu, 22 Desember 2013

Kekuatan "Terima Kasih"



Sore itu ada anak kos yang hendak pulang ke Jakarta. Orang tua anak kos itu begitu baik terhadap mamaku, sehingga mamaku juga selalu bersikap sama dengan orang tua anak kos tersebut. Anak kos itu selalu memesan masakan yang dibuat oleh mama dan selalu memuji bahwa masakan mama itu enak. Kebetulan sore itu mamaku masak ikan bumbu kuning cukup banyak, sehingga ia memberikan dua ekor ikan kepada orang tua anak kos itu. Ikan bumbu kuning itu pun pergi menuju Jakarta.

Tidak berapa lama, sekitar lima jam kemudian, ada pesan singkat di ponsel mama, ternyata dari ibu anak kos tersebut. Ia mengatakan “Terima kasih ya bu, ikannya enak sekali. Kami langsung habis menyantapnya. Terima kasih sekali lagi”. Mama menatapku, ketika aku sambil makan ayam goreng dan dengan cara sederhana ia mengatakan “seneng ya Hen, kalo apa yang kita kasih orang lain langsung menikmatinya. Apalagi langsung mengucapkan terima kasih”.

Hari itu aku belajar sesuatu. Ibu anak kos tersebut dapat dikatakan adalah orang berada namun ia tidak pernah membeda-bedakan orang, bahkan mamaku yang hanya sekadar berstatus ‘ibu kos’ yang selalu mencuci pakaian anaknya. Ia selalu ramah terhadap mama. Paling penting aku belajar satu hal, orang tua itu selalu mengucapkan “terima kasih” bahkan kepada orang yang dianggap orang lain ‘tidak penting’. Kerendahan hati dan kekuatan “terima kasih” menghantarkan aku pada suatu titik penting, betapapun sederhana sebuah benda apapun juga dari pemberian orang lain, adalah suatu keharusan kita mengucapkan “terima kasih”, karena disanalah kita menghargai cara mereka memberi. Jangan sampai kita lupa mengucapkan “terima kasih” mungkin saja, ia memberi dengan usaha dan kerja kerasnya sendiri.

Jumat, 20 Desember 2013

Petak Umpet

Karena petak umpet diciptakan untuk menemukan mereka yang bersembunyi 
dan yang brsembunyi mencari waktu yg tepat untuk keluar lalu berlari mendahului sebelum tertangkap.


Berbagi sedikit mengenai permainan ini dan sedikit pengalaman hidup.
Kita kadang menyembunyikan diri kita dibalik wajah polos kita, kita bahkan tidak tahu ada hati yang diam-diam menaruh rindu.
Kita kadang menyembunyikan potensi kita agar tidak ditiru oleh orang lain yang mau tahu.
Bahkan terkadang kita menyembunyikan kebahagiaan kita agar orang lain tidak cemburu.
Maksud baik, terkadang memang tidak selalu berakhir baik.

Dalam suatu percakapan seru, ada sebuah kebohongan yang terbongkar. Menyedihkan. Baru kuketahui ketika hujan menyambut kota itu.
Permainan petak umpet pun dimulai. Ada suatu lubang besar yang membatasi di antara kami semua.
Teganya berbohong dengan mendukung satu dan yang lain. Padahal semakin sering membuat kebohongan, semakin sering terlihat letak kesalahan.

Baru hari ini setelah kejadian masa lampau sudah lewat, baru diketahui ternyata mereka pergi tidak hanya berdua, namun berenam. Semua ditutupi dengan sempurna. Seakan sudah waktunya nyata siap terjadi. Apa yang salah dengan pergi berenam?
Awalnya kuketahui ada lima, ternyata ada satu peran lagi yang diam-diam ditutupi.
Tidak. Tidak ada. Satu hal yang dipertanyakan "kenapa harus ditutupi?"
Beberapa bulan kemudian, mereka pergi bertujuh. Apa yang salah dengan pergi bertujuh. Tidak. Tidak ada yang salah. Namun kenapa harus berbohong. "Berdua saja", kemudian selanjutnya diketahui ada lima orang lagi.

Pertanyaan pamungkas berikutnya "Kenapa tidak bertanya langsung?"
Jawabannya jelas "karena akan ada kebohongan berikutnya lagi"

Sampai kapan berpetak umpet seperti ini terus?
Bahkan sebenarnya tidak ada yang salah ketika memilih untuk 'nyaman'.
Hanya saja kalian anggap kami ini apa? Semacam penghalang?

Rabu, 18 Desember 2013

Aku jamin kita tidak akan pernah bertemu, baik dalam siatuasi tertentu ataupun yang tidak tepat waktu.
Aku jamin itu. Kita mulai meragu, benarkah? iya...
Aku sepertinya tahu sesuatu, kamu menginginkan sesuatu dariku, namun ternyata kamu tidak menemukannya.
Percakapan terakhir kita seakan membosankan, aku sedang dalam kebimbangan, ya.. kamu tidak perlu tahu apa itu.
Aku mengeja namamu dalam doa, nama panggilan yang samar-samar mulai menjenuhkan untuk kuulangi.
Prinsipku jelas aku tidak ingin membuang waktu untuk sesuatu yang kehadirannya sulit untuk dituju.
Aku tidak sanggup lagi menebak-nebak kamu, kadang perjuangan memang tidak pernah ada yang tahu. Tidak tentang hadir dan pergi, namun mampu bertahan di tengah badai.
Kita tidak akan pernah melakukan pertemuan, hanya sekadar ingin tahu, tapi selalu ada pertemuan yang bersatu.
Itu pilihan kamu.

Sabtu, 07 Desember 2013

One Year Ago

Hello malam minggu. Malam minggu pertama di bulan Desember 2013. So many story about this year.
Lets talk about 'love' ah.. basi. Oke lets talk about 'friendship'.
Setahun yang lalu pernah ada satu pembicaraan menyenangkan tentang nanti ada sebuah pernikahan. Siapa yang akan menjadi humas, siapa yang akan menjadi ini atau itu.
Mengingat masa lalu emang paling menyenangkan ya tapi belum tentu untuk dinikmati di masa depan.
Kebayang gak sih sekumpulan perempuan membicarakan masa depan mereka penuh imajinasi dan canda tawa. Iya tapi itu setahun yang lalu. Sekarang segalanya berbeda. Keadaan yang berbeda, hati yang berubah, sikap yang sering salah tingkah. Mungkin sudah saatnya berpisah.
Kantin mungkin lebih setia. Melihat pergerakan dan pembicaraan yang secara mendalam, secara satu pikiran pernah ada di sana. Tampaknya hanya saya sendiri yang 'kaget' menerima perubahan. Namun beberapa teman yang lain sudah tidak lagi peduli. Mereka lebih memilih bertindak sendiri-sendiri. Saya berada di pertengahan. Di teritorial yang melihat dua kubu yang bertolak belakang. Namun saya berharap kedua kubu itu menjadi satu kesatuan lagi. Walaupun sulit untuk memulai kembali.
Hanya sisa-sisa kenangan yang dapat saya hitung dengan jari. Walaupun saya termasuk golongan yang mudah menangis bagai bawang bombay jika melihat keadaan pertemanan seperti ini. Namun apa daya, saya juga harus siap dan tegar bukan? Bukankah kedewasaan sudah menunjukkan siapa kamu sebenarnya selama ini. Satu tahun yang lalu saat ikatan itu mulai terjalin penuh harap.
Setidaknya walaupun tidak selamanya, namun jangan juga secepat ini.
Faktor eks mungkin menentukkan. Pihak-pihak luar menentukkan. Sebenarnya saya tidak peduli. Saya hanya peduli dengan sebuah ikatan yang sudah lampau. Biarlah faktor luar melakukan pekerjaannya.  Tetapi saya berharap kami tidak goyah. Harapan yang mustahil sepertinya.
Mari membangun langkah baru karena pada akhirnya hati lebih nyaman kepada siapa, kita tidak bisa setir hati itu sendiri, 'harus nyaman sama gue' itu juga gak bisa dipaksa. Biarlah berjalan seperti membuka lembaran baru. Selalu ada masa lalu untuk membuka lembaran baru kan?
Lets do it my friends :)
Look your photo album... save and praying for them :)

Minggu, 17 November 2013

Dini hari masih sepi, belum ada tanda-tanda orang satu komplek mengerjakan aktifitas. Hanya terdengar adzan subuh, namun ayam belum berkokok tanda pagi  menggapai. Matahari sedang bergerak dari ufuk timur, sebentar lagi pagi, aktifitas dimulai.
Bergegas ia mengambil tas ranselnya, demi satu bangku bis kota sebelum gerombolan orang mulai bergerak bekerja tanpa hati.
November adalah musim hujan, gerimis-germis romantis, seperti senyummu yang manis, semanis kismis.
Malam sebelum ia sakit, ia hujan-hujanan sepatunya basah karena banjir yang mulai berdatangan. Kali ini wajahnya lesu melihat jendela di rumah. Ada bayang-bayang yang tidak bisa ia gapai. Selimut membungkus tubuhnya yang mulai panas, ia demam. Demam rindu? bukan... ia demam sungguhan.
15ml obat sirup sudah habis ia minum, berharap ia segera lekas sembuh. Di tengah kesendiriannya melawan demam, ia mungkin butuh seseorang untuk berbagi cerita. Sayangnya tidak ada.
Ia akan sembuh tanpa bercerita.

Kamis, 31 Oktober 2013

PENYEMBAH BAYANG-BAYANG

Tubuhku terbujur kaku di dekat perhentian bis kota. Beberapa orang datang bergerombol melihat keadaanku. Kudengar sayup-sayup orang-orang berlarian memanggil taksi untuk membawaku pergi ke rumah sakit. Sekarat! Kata salah satu orang. Mataku mulai menutup. Hitam
Seingatku, aku sedang menelepon seseorang. Menanyakan kabarnya, kabar ibunya, kabar saudara-saudaranya, dan ia menanyakan kabarku juga. Aku masih membuat pembicaraan kami semenarik mungkin. Kurapatkan jaketku, karena angin mulai kencang berhembus, pembicaraan kami semakin tidak tentu arah dan hujan sudah mulai mengguyur jalanan. Aku berlari menuju sebuah halte. Ponselku tiba-tiba terlempar jauh. Aku bahkan tidak merasa sakit. Telepon genggam itu mungkin sudah menjadi sebuah serpihan-serpihan di sudut-sudut trotoar. Aku tidak bisa bangkit. Pusing menyerangku.

Aku melihat bayang-bayang. Tangan yang terulur. Aku tidak menghiraukan tangan itu. Aku butuh ponselku. Ponselku! Aku berteriak entah kepada siapa

Dingin.
Rintikan hujan membasahi bajuku. Tapi aku tidak merasa hujan menyentuh kulitku. Aku sudah mati. Mungkin. Kalau ponsel itu bisa kubawa ke alam kematian. Aku ingin membawanya saat ini juga. Aku tidak ingin menyesal telah berusaha menyelamatkannya.

Seorang laki-laki membawaku masuk ke dalam taksi. Seorang ibu membawakan tasku. Ponselku masih entah di mana. Namun aku tidak berucap meminta ponselku. Karena aku hanya dapat mengucap “aw”. Tanda kesakitan.

Lalu gelap.
Mungkin aku sudah mati. Sekali lagi kupikirkan itu. Aku melihat ponselku di ujung jalan. Tergeletak sudah basah. Masih utuh. Tunggu... ini bukan di alam kematian. Aku masih melihat ponselku.
Kutekan nomer telepon. Tidak juga bisa. Aku melihat ke bawah aspal. Aku melihat seorang wanita sedang menelepon. Namun ia tidak menelepon sendirian. Bayang-bayang seorang berada di baliknya. Kedua bayang-bayang itu memegang ponsel. Bayang-bayang itu melakukan penyiksaan diri. Ponselku kini hilang. Bayang-bayang itu masih bercengkrama sendiri. Aku iri.
Aku berlutut di trotoar itu, meminta bayang-bayang itu memberi izin aku bersama mereka. Mereka tidak dengar. Mereka pergi. Sang wanita ke kiri. Sang pria ke kanan. Tidak tahu ke mana. Banyak jalan yang bersinggungan. Aku berharap mereka bertemu di suatu titik.

Ketika aku melihat mereka hampir bertemu di suatu titik. Aku berteriak. “Ayo sedikit lagi. Sebentar lagi”. Aku menyembah. Memohon kepada bumi untuk mau menyatukan gravitasinya ke titik tersebut.  Mereka hampir mendekat. Namun belum mendekat.

Aku menyentuh titik itu sebelum mereka bertemu di sana. Kubuka mata, ada ibu yang menangis pilu. Titik itu hilang. Bayangan pun hilang. 
Kegiatan menyembahku sudah selesai. 
Aku sudah kembali kepada nyata. Tidak ada bayang-bayang. Hanya ada pelukan hangat dan sebatang jarum tanpa ampun yang menusuk.


Hu!
Hari yang beraaaaatttttt.....
UTS Bahasa Jepang gagal total karena datang terlambat.
Sumpah serapah sudah keluar untuk supir travel damri yang dengan seenak jidat membuat lama perjalanan.
Iya. Sudah 30 menit menunggu tidak jalan-jalan. Pake acara muter-muter ke Tamansari segala. Pake acara beli gorengan segala. Duh... mau nyiksa diri rasanya. Jedotin kebodohan di trotoar. Karena tidak memilih travel yang terpercaya.
Supir muda itu malah mengambil lanjur kiri pas di tol. Astaga. Aku benci supir muda itu. Aku sudah terlambat total masuk kelas.

Hampir gila. Iya.
Teman-temanku bilang, aku hampir gila.
Duduk diam. Melamun. Senyum senyum sendiri. Kulakukan di kantin kampus memandang kosong ke arah jendela. Membayangkan nilai apa yang kelak kudapat. Mengerikan. Sudah jangan diteruskan.

Aku mengambil nafas.
Karena menulislah aku tetap waras.

Karena dengan jalan kakilah aku masih tetap sadar.

Iya, aku bersyukur, dengan menulis aku menjaga titik warasku. Mengambil posisi tangan yang bergerak. Membiarkan kata-kata meluncur tanpa ampun. Aku waras.
Aku akan gila jika tidak ada kertas dan alat tulis untuk menemani kegilaanku.

Aku suka sekali mencuci tangan sambil melamun. Tangan yang dibungkus busa sabun. Sambil tetap berada di pancuran.
Mungkin jika mama tidak menyuruhku untuk makan malam, aku sudah membiarkan air terbuang percuma untuk melayani lamunanku.
Hu!
Aku menulis maka aku waras.
 

Senin, 28 Oktober 2013

Pesan-pesan yang Dilupakan

Pesan-pesan yang tak tersampaikan.
Pesan-pesan yang hinggap di awan-awan hitam. Menurunkan hujan membawa kesedihan.
Pesan-pesan yang jatuh sebelum tahu kapan ia terbang menuju tujuan.
Pesan-pesan yang diabaikan, hingga waktu pertemuan.
Tidak ada pesan-pesan setelah itu, pesan-pesan sebelumnya telah diabaikan. Selamanya.

Mungkin pernah ada rasa kekesalan
Rasa perjuangan yang dihilangkan.
Sekarang pembawa pesan merasa kesusahan.
Sudah tidak tahan. Mungkin sekarang waktunya untuk pergi perlahan dan yang terberat adalah melupakan.

Pesan-pesan yang tidak tersampaikan.
Rasa ingin tahu yang terpendam. Rasa suka yang terkadang hanya berakhir dalam diam.
Sebenanya ada keseriusan, namun ternyata disambut dalam permainan.
Tidak salah lagi, mungkin sekarang waktunya beranjak dan pergi meninggalkan.
Cita-cita kebersamaan.

Sebenarnya harapan pembawa pesan cukup sederhana. Hanya ingin berkirim pesan.
Ternyata kesibukan lebih diutamakan.
Hati mana yang ditaruhkan untuk suatu rasa penasaran, rasa yang terpendam.
Angan-angan dibayang kenangan.
Sulit bergerak melupakan. Cerita tanpa tujuan.
Mari mengubur harapan yang ketinggian.

Selamat malam kamu bayang-bayang. Semoga tidak dihinggapi kesepian.

 

Kamis, 24 Oktober 2013

Kronologis Aplikasi Baru di Guapo

Semenjak tadi sore berkutat dengan mengerjakan satu tugas dari satu mata kuliah. Harapan selesai malam ini, supaya besok bisa mengerjakan tugas yang lainnya.
Sambil bertugas ria, ada baiknya saya ingin curhat soal aplikasi baru yang sedang ramai dibicarakan orang. Yes! BBM. Pertama nyoba, susahnya masuk minta ampun. Kemudian dapet PIN. Kemudian sebarkan. Namun apa yang menarik? Cuman satu orang yang minta PIN saya, ketika saya belum instal itu BBM.
Well... katanya sih dia pembaca setia blog ini. I dont know lah.
Jadi yang tau PIN saya yang pertama, ya dialah.
Sudah dua tiga hari pake aplikasi itu, kok lama-lama ngebete-in. Ganti nama saja, harus masuk di daftar "update" ih.. facebook, twitter, Path, Line, Wechat. Gak gitu-gitu amat. Apaan sih, cuman pingin ganti nama biar enak dibaca, enak dipandang, kan memang harus dicoba-coba dulu, langsung masuk ke 'update', sampai sepupu bilang 'alay' gara-gara saya nyoba ganti nama tiap detik. Actually, namanya itu itu ajah sih, cuman ada posisi yang harus diubah, harus enak dilihat. Maklum kan baru pertama kali punya aplikasi si hitam bintik-bintik.
Iya yang alay sih BBM noh... gitu doang mesti jadi 'update', ganti foto juga gitu. Ah.. gak suka lah pokoknya.
Saya ini kan hobinya gonta ganti... NO!!! gonta ganti pacar gak termasuk. Saya jomblo dengan akurasi kesetiaan dipertaruhkan. Makannya kata orang dapet pacarnya susah. Setia sih... hahaha *ditabok masal*
Ya maaf-maaf ajah... kalo gonta-ganti pacar harusnya jangan bannga sih. Itu bukannya menunjukkan kegagalan ya =p

Aplikasi itu gak jelas-jelas amatlah. Better Whatsapp atau Wechat. Seriusan!
Saya lebih suka wechat =) bisa share moment. hehehe
Emang sih semua orang gak harus tau kita ngapain, tapi kalo kita punya info tempat yang menarik masa orang lain gak boleh tau? Masa kebahagiaan disimpan untuk sendiri. Orang yang berbagi akan selalu bertambah. Termasuk berbagi isi pikiran, pengalaman, tempat menarik, sampai sharing masakan alias foto makanan juga sah-sah ajah. Berbagi kesedihan sih yang agak malesin.
Benar kata Indra Herlambang, terlalu banyak polisi di dunia maya. Gak boleh beginilah begitulah. Alay lah.
Please 'My life its not your business' bebas sih orang lain mau melakukan apa ajah. Asal jangan keseringan juga. Pembaca lini masa juga ada titik jenuhnya loh.

Lagipula untuk apa nyuruh punya pin BBM, kalo gak intens dihubungi. Nganggur, bikin lemot hape. Gak guna. Bukan artis juga kan saya ini? Atau manusia eksis yang terlibat langsung dalam semua event.  Iya.. kalo butuh telepon, sms, whatsapp, dan pake media sosial lainnya
Setelah punya aplikasi BBM tuh sebenarnya ada harapan yang terselip di dalamnya.Namun ternyata menemukan fakta yang menarik. Ketidaksungguhan. Hanya main-main. Maksudnya?
Iya biar Tuhan dan saya yang tahu :)
Bye BBM. Nanti kalau saya agak perlu, baru deh saya instal lagi. Hehe
Cuman pingin tau, "are you miss me?" - I don't think so.

Minggu, 20 Oktober 2013

Oktuber

Selalu menyenangkan menulis 'sesuatu' tengah malam.
Setelah menyelesaikan satu novel romantis berbahan dasar coklat berlatar belakang Paris. Kota romantis.
Tapi aku tidak ingin ke Paris. Aku ingin mengunjungi Spanyol... menjelajah bersama seseorang.
Pergi ke Inggris. Berkunjung ke salah satu kota industri pertama di sana, Liverpool. Bersama kesenangan dan kebanggaan.
Namun pergi ke Eropa bukankah selalu menyenangkan? Walaupun hanya ke Paris. Tanya saja sama mereka yang sudah berkunjung ke sana. Pasti mereka bercerita sampai berbusa dan kuping kita bergetar tanda iri dan memuji.

Oke mari tinggalkan cerita hari ini.
Beberapa hari ini seperti ingin menjauh dari dunia luar. Aha! ya karena tidak punya uang. Jadi lebih baik bersama mama di rumah. Makan gratis.
Mulai menyicil tugas dan itu membuatku gila.
Karena masih terngiang sepatu baru di etalase toko. Aku ingin itu. Namun tentu saja sang ibu belum mau mengeluarkan sedikit rejekinya demi pemuas hawa nafsu. Oh... sepatu...
Sehingga di rumah aku tidak fokus mengerjakan tugas. Selalu menghitung tanggal. Kira-kira sudah tanggal berapa sekarang. Uang bulanan belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sepatu lucu semakin jauh di depan mata.
Dasar perempuan!

Dasar laki-laki! apa? Kalian juga selalu menghabiskan uang kok. Tidak perlu kusebutkan kalian habiskan uang untuk apa saja.

Baiklah... tulisan hari ini ke mana-mana tidak tentu arah. Ini gara-gara sepatu itu. Ya Tuhan... warna kremnya menggoda.

Kemarin sempat nonton tv, ada acara jalan-jalan di Malang. Main-main paralayang.
Aku ingin ke sana lagi. Cita-cita setelah lulus : main paralayang! Ini serius.
Jangankan lulus, ini proposal bisa dipertahankan saat sidang Usulan Penelitian (UP) saja sudah bersyukur.
Rasanya ingin mati. Toh mati pun sudah mendapatkan gelar. Iya.. alm.

Oh iya, jangan bicara apa-apa lagi. Jangan sekadar wacana. Pembuktian lebih dari segalanya.
Selamat malam dunia fana.

Rabu, 18 September 2013

New Post in September

Lama tidak mengetik di sini. Terlalu banyak tugas yang menanti. Kisah cinta yang dinanti tak kunjung tiba hingga dini hari. #alah
Semester tujuh. Gila... ternyata sudah kuliah selama 3 tahun. Berapa puluh juta sudah dihabiskan ya? Hem...
Seminar, tugas seminar, membuat proposal penelitian, ujian proposal, mata kuliah lain,dan  mata kuliah ngulang. Rasanya super sekali. Luar biasa Tuhan bimbing.
Sempat gak percaya sama Tuhan, akhirnya dipulihkan.

Sedikit menulis tentang pengalaman hari ini dan entah kenapa hujan selalu mengiringi.
Hari ini aku dijadikan bahan bercandaan saat tugas kelompok.
"Ety Suheni pendek"
"Tinggi lo cuman 147 kan?" -
"Hahaha... jomblo seumur hidup lo Hen"
"Emang ada yang mau sama lo?"
"Udah yang jomblo diem ajah"

Ah... senangnya... menyenangkan orang lain dan membuat tertawa. Anugerah bukan?
Gak bisa juga nyalahin mama yang nikah sama orang pendek (my alm.bapak)
Gak bisa juga nyalahin mama yang gak punya uang buat bayar les renang waktu kecil, kemudian pertumbuhannya terbatas.
Gak bisa juga nyalahin mama atas pemberian nama yang super desa "Ety(i) Suheni", karena udah dibaptis dan namanya sudah tercatat di kitab kehidupan bersama ijazah duniawi.
Gak bisa juga nyalahin alm Mbah Kakung yang keukeuh dengan nama "Ety Su.."
Gak bisa menyalahkan siapa-siapa. Nyalahin Tuhan sih kadang-kadang.
Mending ikut tertawa saja.

Terus soal jomblo, usaha kan sudah, tapi yang ngedeketin emang gak ada atau kalo kata orang-orang yang optimis "belum" ada.
Gak bisa nyalahin juga kan selera cowo zaman sekarang yang lebih suka perempuan semampai atau ipk tinggi, atau berhati merpati. Masa gak boleh jadi diri sendiri?
Hari ini dapat banyak guyonan...
pertama ada yang ngirim gambar "aplikasi chating banyak, tapi gak ada yang ngajak chating"
Kedua ada yang ngetweet "eti suheni pendek"
Ketiga waktu di kafe dibilang "jomblo seumur hidup"
Its oke... yang penting bahagia, bersyukur, dan menjadikan ejekan sebagai candaan dari bahagianya kehidupan.

Kenapa harus takut jomblo?
Kenapa harus takut sama ukuran tinggi badan?
ah... Zakheus saja biar pendek punya motivasi
ah.. Paulus saja yang jomblo selalu bahagia.
Karena Tuhan punya cara, kita tidak tahu apa saja.

Ngomong-ngomong Tuhan punya cara, semoga saja ada jalan untuk tugas seminar. Amin.


Sabtu, 10 Agustus 2013

Cerita Sore

Di belakang rumah dengan hamparan rumput, dan beberapa pot bunga yang dengan cantik berjejer dengan apik, seorang gadis duduk termenung. Sambil berpikir keras ia menatap layar laptopnya, entah apa yang ada di dalam sana, sehingga masing-masing alisnya kini beradu.
Tulisan itu begitu menghidupkan rasa penasarannya, menghidupkan imajinasinya dan menghidupkan beberapa memorinya yang pernah tenggelam lama.
Ia terus menuruni kursornya ke bawah, masih terlihat bingung ia pun kembali menggerakan kursornya ke atas. Tulisan di layar tersebut begitu membingungkan untuk ia cerna. Ia mencoba mengingat sosok yang ada di tengah-tengah layar laptopnya. Heran dan bingung kini memasuki alam bawah sadarnya.

"Bukankah ini cerita ku yang kukirim pada sebuah majalah minggu lalu, kenapa sekarang cerita ini diterbitkan namun tidak memakai namaku, dan konfirmasi dariku"
Ia menggelengkan kepalanya, kini kursornya berhenti kepada sebuah nama.
"Astaga", kini ia kini terperanjat, tidak menyangka nama tersebut tertulis, ia kemudian mencari tahu nomer penerbit tersebut menanyakan kebenaran, membongkar pertanyaan dirinya sendiri.

Setelah didapatnya nomer penerbit, kemudian ia mengambil ponsel dalam tas gendongnya, memijit nomer yang tertera pada halaman website dan beberapa detik kemudian ia marah. Ya, gadis ini marah besar ketika nada sambung terus terdengar tanpa ada jawaban. Gadis ini mengumpat kesal. Ia kembali menjalani kursornya ke atas dan ke bawah, sambil berharap menemukan titik kebenaran, tanpa harus mendengarkan nada sambung. Namun nihil, hasilnya tetap sama, satu-satunya harapan dia adalah nomer telepon penerbit yang keberadaanya sulit diketahui.
Ia tidak mau ambil pusing, kemudian ia pergi ke kamar mandi dan mendinginkan seluruh tubuh serta kepalanya, berharap dengan melakukan hal yang demikian ia menemukan sumber-sumber yang membawa kembali kepada pikiran yang jernih. Ia keluar dari kamar mandi, menemukan sepucuk surat di meja kerjanya. “Mbak, ini surat dari siapa?”, ia bertanya pada penjaga rumahnya. “Tidak tahu non, saya menemukannya di halaman depan” penjaga rumah kemudian keluar, dan tanpa ragu-ragu diambilnya surat itu.
"tumben" katanya dalam hati

Perlahan ia buka surat itu, yang ada dalam benaknya kini hanya ada rasa penasaran dan selebihnya ia terlampau santai untuk membukanya.

'Terima Kasih untuk ceritanya' hanya tulisan itu saja yang ada dalam sepuncuk suratnya. Ia membolak balik kertasnya meyakinkan dirinya sendiri, bahwa hanya ada tulisan itu saja. Wajahnya bingung, sambil mengeringkan rambut, ia membawa surat itu keluar rumah, mencari tahu, si pembawa surta misterius itu. Berharap sang pengantar surat ada di luar dan masih mengintip. Ia tatap sekeliling mencari kebenaran. Nihil, tidak ada seorang pun di luar rumahnya.

ia menggoyang-goyangkan kertas misterius itu, berharap dapat menangkap makna dibalik tulisannya. Ah sudahlah, orang iseng. pikirnmya.
secangkir teh manis hangat sudah menanti dibalik pintu ruang makannya. Kesepian menghinggapi setiap jengkal udara yang ada di ruangan tersebut. Apalagi ini... dia membenamkan wajahnya perlahan dalam kesepuluh jarinya meratapi segala sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sama sekali.

Ucapan 'terima kasih' yang ditulis sang pengirim misterius itu terlihat sangat akrab dalam dirinya. Ia tahu di luar sana pasti ada yang mengenalnya secara dekat, secara nyata. Namun siapa....

Dua bulan berlalu, ia gagal menerbitkan tulisannya di dalam majalah favoritnya, minggu yang lalu pun begitu, tulisannya tidak dimuat di dalam koran. Hatinya berkecamuk. Tidak biasanya ia menyerah, dan memalingkan diri. Tidak biasanya. Namun, setelah tulisannya dimuat, dan justru bukan namanya sendiri, ia merasa saatnya sudah selesai. Kecewa adalah sebuah kejelasan yang tergambar jelas. Ia tahu kejatuhannya sudah tiba.

Surat misterius itu datang lagi. Bahkan di dalamnya ada sebuah kaset rekaman. Tidak ingi membuang waktu, gadis itu menyetelnya...



Rabu, 07 Agustus 2013

Surat Permohonan

Aku punya dua surat permohonan. Satu untuk Tuhan.
Satu lagi untuk kamu.
Isinya sama.
Namun surat itu belum dilihat Tuhan.
Tuhan menunggu kamu juga mengirim surat yang sama kepada-Nya
Ia ingin melihat kegigihan kita berdua.
Kalau hanya aku saja, Tuhan tidak setuju. Ia tidak ingin aku berjuang sendiri dan terluka terlalu jauh.
Sudahkah kamu mengirimkan surat untuk Tuhan? Satu kalimat saja =')

Namun aku selalu kuatir. Isi surat kita berbeda. Mungkin Tuhan akan mecari alternatif lain. Entah apa. Ia kan pandai memberi kejutan.

Kamis, 25 Juli 2013

Lampu Baru Milik Jeruk

Menjelang subuh, Jeruk terbangun dari tidurnya. Ia melirik jam dindingnya dan baru pukul satu pagi. Ini menandakan Jeruk tidur tidak nyenyak. Ia sudah tidur dari pukul sepuluh malam. Namun kegelisahan tiba-tiba mendatanginya sepagi ini. Ia menatap sekilas cahaya di jendela kamarnya, ia tahu lampu di luar sana masih terjaga tanda kehidupan masih berjalan. Jeruk mengambil posisi duduk. Kamarnya masih dalam keadaan gelap. Jeruk selalu mematikan lampunya sebelum tidur, menurut beberapa ahli, mematikan lampu saat tidur itu baik untuk kesehatan. 
Jeruk mengusap matanya. Ia melamun agak lama. Sedikit melihat perjalanan hidupnya menari-nari dalam kegelapan. Tiba-tiba cahaya putih di luar jendela itu membesar.

"Hai Jeruk"
Jeruk tercenang bukan main. Cahaya itu berbicara kepadanya. Lampu di luar jendela yang selama ini ia abaikan, kini menjadi fokus utamanya. Lampu itu berbicara. Jeruk ingin beranjak, namun ia takut setengah mati. Lebih baik di sini saja pikirnya. Di dekat selimut, agar ia bisa menutup wajah, jika sesuatu yang buruk terjadi.
Jeruk membuka telinganya lebar-lebar, ia mau tahu apa saja yang akan dikatakan sang lampu dibalik jendelanya.
"Hai Jeruk. Kamu bermimpi buruk ya?" Lampu itu mulai berkedip. 
"Ha? iya.... betul." Jeruk menjawab dengan gugup. Ia ingin sekali bertanya kepada lampu "Hai.. lampu mengapa kamu berkedip?" Namun Jeruk menyimpan pertanyaan itu dalam hati. 
"Kenapa kamu melamun?" Giliran lampu itu berkedip semakin kencang
"Memikirkan hidup" Jawab Jeruk singkat. Namun pertanyaan awal Jeruk kepada lampu masih tersendat di pertengahan tenggorokan. Jeruk memilih memandang lampu yang berkedip.
"Kamu sedang kuatir ya? masa depan? sesuatu?" Lampu itu berkedip semakin hebat.
"iya" Jeruk tegas menjawab. Kali ini ia tidak ragu. Ia yakin, lampu itu sudah masuk ke dalam pikirannya dan membaca semua hal tentangnya.
"Lebih baik kamu tidur lagi. Tidak perlu kuatir. Besok pagi akan ada lampu baru menggantikanku. Sama seperti masalahmu. Akan ada masalah baru yang menunggumu. Tidak perlu kuatir. Yang paling penting kamu tidak gentar. Selamat tidur" Lampu yang berbicara banyak, sambil berkedip-kedip kencang, kini mati. Tidak secara perlahan. Namun terjadi begitu cepat.
 Pertanyaan yang Jeruk simpan, kini tidak berguna lagi.

Kegelapan menyelimuti Jeruk. Sinar di balik jendela itu menghilang. Ia takut. Tidak ada lagi sinar kecil menemani malamnya. Lampu itu sudah padam. Entah mengapa, Jeruk memilih tidur lagi. Ia yakin, masalahnya akan sama seperti lampu itu. Mati dan padam suatu hari nanti.

Keesok harinya, Jeruk melihat beberapa orang dengan sibuk sedang mengganti sesuatu di balik kamarnya. Ternyata menggantikan lampu yang kemarin menemaninya bercakap-cakap. Jeruk heran. Ia mengerutkan keningnya. Kemudian bertanya kepada kedua orang yang sedang menggantikan lampu 
"Mengapa diganti Pak?"
"Lampunya sudah 'putus'. Gak bisa nyala lagi. Kalo gak diganti, ntar gelap dong" Setelah menggantikan lampu lama, kedua orang tersebut lalu pamit pergi membawa lampu yang kemarin berbincang dengannya.

Jeruk menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti sekarang. Ada saatnya kesusahan akan pergi dan diganti dengan 'lampu baru'. Namun kebahagiaan itu juga tidak akan berlangsung lama, suatu saat 'lampu baru' ini akan mati kemudian pergi lagi. Selalu demikian. Benar kata lampu lama "besok ia akan ada yang menggantikan" dan lampu lama tidak sedih. Ia tidak merasa akan dibuang. Karena jika waktunya gelap, makan memang itulah saatnya. 

Jeruk mengamati lampu baru di atas kepalanya dan mengamati jendela menuju kamarnya. Ia akhirnya yakin, tidak ada yang perlu dikuatirkan dari hidup ini. Karena kegelapan akan segera diganti dan untungnya kemarin ia tidak melanjutkan lamunannya yang lebih buruk.
Jeruk kemudian menuju kamar mandi dan berangkat pagi-pagi.

Rabu, 24 Juli 2013

Mendoakan

Mendoakan orang yang membenci kamu.
Oke topik malam ini agak berat.
Sebenarnya mendoakan orang yang membenci dan (melupakan) itu lebih beban daripada mendoakan bangsa Indonesia yang penuh masalah.
Apalagi dan oh ternyata yang membenci kamu adalah teman kamu sendiri. Cukup dekat. Namun penuh masalah di dalamnya. Membayangkannya saja sudah ngeri sendiri.
Bagaimana bisa, ternyata diam-diam ada sekelompok orang yang membicarakan kamu di belakang. Padahal sudah berjanji untuk terbuka. Bagaimana bisa, mengerti orang-orang yang selalu minta dimengerti. Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa memahami orang yang sudah lupa akan temannya sendiri. Bagaimana bisa.
Bisa... kuncinya adalah mendoakan mereka.
Harus melepaskan segala rasa benci dan marah yang tersulut emosi. Karena itu paling berat.
Ah.. Heni... nulis ajah gampang. Kamu sendiri ngejalaninya masih susah toh?
Iya bener... nulis ini sebenarnya buat membuat kadar emosi gak semakin naik di jejaring sosial.
Gimana ya rasanya dilupain teman sendiri?
Gimana coba rasanya tidak dipedulikan lagi?
Tetiba ada yang bilang "silahkan bercermin!" Kalau begitu, sudahkah kamu paham apa yang barusan kamu lakukan. Aku bahkan melakukan hal yang sama. Kesepian yang kamu maksudkan adalah suatu cibiran paling menyebalkan.
Kemudian teringat sesuatu. Mendoakan. Sudah saatnya berbeda sikap.
Rasanya sakit Tuhan. Ketika Engkau mengatakan "Jika ada yang menampar pipi kirimu, berikan pipi kananmu". Sakit.
Pada akhirnya, harus mendoakan mereka.
Jika, ternyata memang belum bisa berbaikan lagi. Biarkan nanti ada yang lebih tulus dan baik hati. Menanti tanpa pamrih. Karena sahabat sejati adalah perjuangan mempertahankan diri. Bukan dari cemoohan orang lain tapi mendoakan mereka setiap hari.
 


Berjalan kaki mencari inspirasi. Sering dilakukan menjelang sore hari. Ingin berjalan kaki sambil mengitari bumi. Bertemu orang-orang baru yang selama ini dicari. Namun itu hanya mimpi. Ia menghalangi. 
Punya mimpi bertemu dengan orang-orang baik hati. Ternyata itu hanya topeng dalam selimut diri. 
Kemudian berjalan lagi. Selangkah lagi. Jatuh lagi. Ada yang datang menolong, namun lambat laun pergi dan tidak kembali.
Berjalan tanpa henti. Mencari jati diri. Lalu percaya, tidak ada teman sejati. 

Sekat Semu

Dari beberapa minggu belakangan ini, sering banget berkicau di twitter soal 'sekat'. Coba kalian buka Kamus Besar Bahasa Indonesia kalian. Sekat adalah sesuatu seperti dinding, kerai dsb untuk membatasi atau memisahkan ruang. Saya pikir ini analogi yang bagus untuk menggambarkan sebuah pertemanan yang mulai 'disekat'.
Ya.. disekat berbagai rahasia. Disekat berbagai kecurugiaan. Disekat berbagai kecemburuan. Disekat berbagai kebosanan. Hingga pada akhirnya timbul perselisihan. 
Sekat yang dibangun tidak terlalu nampak. Hanya saja terlihat semu. Terlihat penuh tanda seru. Dibangun perlahan. Dibangun diam-diam.
Kepekaan bahkan mulai luntur. Faktor luar mungkin pemicunya. Harap maklum. Semua orang berubah seperti cuaca. Tiba-tiba dan kadang-kadang sulit diprediksi. 
Sekat yang dibangun juga perlahan terlihat kokoh dan menunjukkan keberadaannya.
Contohnya begini, ada beberapa hal yang mungkin tidak dibagi. Cerita yang sama misalnya atau perkembangan cerita yang sama misalnya. Bahan pembicara yang sama misalnya. Pembicaraan baru penuh kontroversi misalnya.
Ada beberapa kejadian yang semakin menguatkan pembangunan sekat semu tersebut.
Menghilangnya komunikasi, menghilangnya ajakan, menghilangnya kepercayaan, dan melupakan yang ada.
Tak mau berpanjang lebar. Jika, sekat semu semakin kokh terbangun. Pertahanan yang dahulu... mungkin akan bergerak menjauh. Membuat sekat-sekat lain yang lebih rumit. Bukan hanya satu sekat. Akan semakin banyak sekat. Semakin sering.

Sebenarnya, lagi kesal dengan beberapa orang. Tapi gak papa. Mungkin... ada kalanya, harus melangkah dalam kesedirian. Menutup telinga untuk sindiran. Menghiraukan nasehat. Karena nasehat manusia tidak selamanya mengandung kebenaran.
Nyatanya, sekat semu pun menjadi taruhan.

Selasa, 23 Juli 2013

Pangkuan Ayah

Hujan berjatuhan. Ada banyak kejutan yang terjadi beberapa hari ini. Baiknya kutuliskan saja. Sebelum lupa berbagai cerita.
Hari senin kemarin adalah hari senin kecerobohan. Mungkin tidak ada ampun lagi untuk kesalahan yang satu ini. Datang terlambat ke kelas dan test sudah berlangsung 30 menit. Deg... sudahlah. Pasrah. Hasilnya... nilai yang menampar wajah terasa memerah. Tidak ada lagi ampun untuk tindakan yang selalu menimang nimang waktu.
Sepulang kuliah. Aku Naik bis kota dan bisnya super tua. Aku duduk di sebelah dua orang laki-laki.
Kedua laki-laki ini diam seribu bahasa. Anak laki-laki itu tertidur di dada ayahnya. Ia berkali-kali melorot ke bawah. Ayahnya, berkali-kali membawa anak tersebut kembali ke bagian dada. Supaya hangat dan anak laki-laki itu merasa nyaman.
Sang ayah ikut tertidur dan aku tetap membaca buku. Sambil mencuri pandang ke arah mereka berdua. Aku berpikir sesuatu.
Anak laki-laki ini tidak rewel. Berbeda dengan anak laki-laki yang dipangku seorang ibu.
Yang dipangku seorang ibu, biasanya akan meronta dan cendrung tidak bisa diam.
Kedua laki-laki ini lalu tertidur pulas.
Aku pernah membayangkan apa rasanya tidur dan memeluk seoarng laki-laki tua penuh dengan bijaksana saat masih kecil dulu.
Menyenangkan. Aku selalu tahu, anak laki-laki yang ada di pangkuan ayahnya juga merasa menyenangkan. Menyenangkan dalam mimpinya

Kamis, 11 Juli 2013

Berjalan sambil Menerima

Entah harus mencucurkan air mata atau tersenyum sambil menutup muka, ketika melihat kondisi nilai yang seakan-akan statis. Bersyukur? Iya pasti karena pepatah mengatakan "lebih sulit mempertahankan daripada membuat naik ke atas"
Sudah berjanji kepada diri sendiri, tidak akan kecewa jika mendapatkan nilai sesuai ataupun tidak sesuai perjuangan tanpa ada walaupun. Seakan semuanya sudah diatur dan sekalipun sudah melakukan yang terbaik, jika memang sudah waktunya terjadi. Terjadilah. Apapun... ya apapun itu.
Hal yang benar-benar harus dilakukan sekarang adalah menerima. 
"Bukan Ukuran Saya" iya.. postingan tersebut kembali membuat saya sadar, betapapun sudah merasa melakukan yang terbaik, walaupun dengan cara jungkir balik, atau begadang dengan kopi tiga cangkir. Namun ketika memperoleh hasil yang kurang maksimal, seakan-akan semesta menampar begitu hebat.
Ya semesta menampar.
"kamu pikir kamu sudah melakukan apa? Kamu pikir itu hasil kerja kerasmu? Kamu pikir kamu hebat? Kamu pikir segala usahamu akan 'mulus begitu saja? HA! Silahkan berkaca" begitu kata semesta

Ketika saya mengatakan hal ini pada mama saya, ia hanya terlihat pasrah, "ya sudahlah", katanya.  Ia tahu, ia tidak pernah sekolah, jadi ia hanya dapat mengatakan "rejeki itu masing-masing". Ia memang tidak mengenal nilai, yang ia tahu, nilai C adalah buruk sedangkan nilai A adalah sempurna. Jadi, ia percaya semua nilai adalah rejeki. Apapun itu bentuknya. Namun nilai C adalah rejeki yang tidak begitu bagus, menurutnya.

Saya percaya Tuhan pencipta semesta ini akan memutar saya lebih jauh... entah.. memutar ke bawah atau ke atas. Ikuti saja. Hal yang benar-benar baik adalah menerima dengan senyuman semua rencana-Nya. Sambil saya berdoa dan bersiap 'bertempur' ke arah lebih jauh lagi. Mungkin, Ia mau tahu, apakah saya setia dalam perkara kecil. Nilai adalah perkara kecil =') Sehingga, saya sudah punya kemampuan untuk setia kepada perkara-perkara besar.

Ketika saya menulis ini perasaan saya campur aduk. Entahlah... mungkin setelah melihat daftar nilai yang.. yah... biasa saja. Saya pasti tidak akan pernah mendapatkan predikat cumlaude sampai akhir tutup transkip nilai. Perhitungan saya sih begitu. Menembus ipk 3.00 seakan seperti ingin menembus antara gedung yang satu dan gedung yang lainnya. Jika teman-teman saya membutuhkan lima peluru untuk mendapatkan nilai B. Saya butuh tiga kali lipatnya.
Saya tahu di dalam diri saya ada bagian yang tidak bisa memuaskan para pemberi nilai dan pengajar. Saya tahu... seberapa usahapun saya bepikir, tetap dirasa kurang. Saya kecewa, iya. Tapi saya tidak akan menyerah, karena Tuhan memberi janji yang indah.

Selasa, 09 Juli 2013

PACAR SAYA 'SUPER STAR'

Pernah dengan lagu Project Pop yang kira-kira liriknya begini tidak?
"Apakah mungkin... seorang biasa... menjadi pacar seorang super star"

Yah.. di sini kita akan bermain "Pacar Saya 'Super Star'" super star bukan dalam arti artis, namun kepada keeksisan seseorang dalam kehidupan. 
Sedang merenung ajah, apakah seorang 'super star' selalu mempunyai pasangan yang sempurna di baliknya? Pintar mungkin, bermulti talenta mungkin. Atau bahkan sama pula 'super starnya'? atau... bahkan biasa.. sungguh sangat biasa saja.

Oke... begini, beberapa orang mendapatkan pasangan yang 'klik' dengannya, namun... pasangan itu adalah seorang 'super star' dia bukan artis, namun sangat sangat dikenal di lingkungan tempat ia bersosialisasi.
Ada pasangan yang nyaman... ada pula yang nggak nyaman. Namun siapa sih... golongan yang nggak nyaman di sini?
Ialah golongan-golongan orang-orang minder yang dipikir nggak bakalan mungkin bersanding sama si 'super star' ini. 
Nggak sekadar pasangan, mungkin yang sedang tahap pedekate, ngeceng, juga langsung minder (Contohnya, saya) hahaha...
Apa jadinya, kalau yang selama ini kita taksir, merupakan seorang 'super star' and then "Everybody know you" or "Everybody need you" but... tapi... pasangannya hanya sekadar 'biasa'.
Talentanya hanya mendengarkan dengan baik misalnya. Karena ternyata menjadi pendengar yang baik butuh ketekunan loh.

Kalau saya pribadi diahadapkan dengan 'super star' pasti akan minder. Karena, saya tahu... keseimbangan itu dibutuhkan dalam menjalin suatu ikatan. Atau... pemikiran saya keliru? suatu ikatan akan seimbang, jika saling melengkapi yang satu dan yang lain. Namun... bagaimana  kalau pada akhirnya yang satu cendrung lebih banyak melengkapi yang lainnya?
Apakah justru akan menjadi ketimpangan?
Hem... coba saya berasumsi, pasangan saya adalah seorang 'super star', saya mungkin akan mencoba masuk ke ranah sosialnya. Namun... belum tentu diterima atau diterima namun ia melindungi saya dari depan. 
Beruntungnya ini baru hayalan... pada tahap sesungguhnya belum terjadi dan mungkin... tidak akan terjadi. 
Semoga pacar saya kelak.. ya entah kapan... menjadi seorang 'super star' di hati saya dan banyak orang. #tsah

Ransel Baru

Berjalan kaki dari pasar menuju rumah dengan menggendong ransel baru itu ternyata menyenangkan. Hari ini cuaca mendung dan sedikit germis, ya sedikit saja, bahkan sedikit membuat sejuk, dan menghilangkan beberapa butir debu di sekitar jalanan beraspal penuh batu. Dengan bangga menggendong ransel baru berwarna coklat dan ada sentuhan orange... ya.. suka sekali dengan warna orange. Akhirnya.. saya punya ransel baru. Karena ransel lama sudah banyak robekan sana sini, namun ransel lama entah mengapa paling tahan lama. Tidak putus talinya hanya memang banyak robekan yang sebenarnya menambah epic si ransel lama.

Sebelum memutuskan untuk jalan kaki dari pasar ke rumah, saya memutuskan untuk makan ice cream di restoran siap saji sambil membaca buku Paulo Coelho yang berjudul Seperti Sungai Mengalir. Bukan buku saya tentunya, ini hasil pinjam dari teman, karena belum sempat beli, namun penasaran dengan isi yang ada di dalamnya. Makan ice cream Coffee Cruch, favorit saya sejak ice cream itu pertama kali dipasarkan. Buat saya, ice cream itu sudah cukup memadukan kesukaan saya, yaitu ice cream dan coffee. Sambil baca buku, saya banyak meneliti sekitar. Melihat wajah orang-orang kepanasan dan kehausan, mengomel sambil berbicara panjang lebar mengenai sikap dosen terhadapnya. Kemudian, ada yang masuk sambil menggandeng tangan pacarnya, berhubung saya duduk di dekat pintu keluar masuk toilet, ada yang sambil lari-lari menuju toilet, mungkin ia kebelet. Kemudian saya melihat diri saya sendiri, membaca buku dan melihat media sosial. Saya banyak merenung.

Memakan ice cream secara perlahan, ternyata mampu membuat beberapa halaman di dalam buku yang saya baca serasa bergulir. Saya rasa keributan manusia, merupakan musik paling alami yang dipunyai di kota besar. Jadi, saya tidak risih, justru menikmati dengan anggun sambil membaca. Beberapa tatapan melihat saya dengan aneh. Mungkin mereka berpikir, satu anak perempuan, kecil, baca buku, dan makan ice cream. Namun untungnya mereka cuek dan saya tidak.Saya melihat mereka. Mereka yang sibuk dengan alamnya sendiri.

Saya kemudian memutuskan berjalana kaki saja, itung-itung bakar kalori. Melihat langit seperti payuh yang meneduhkan, akhirnya saya bertekat memulai berjalan kaki sering-sering. Dalam perjalanan, saya melewati kompleks-kompleks perumahan, yang sekarang sudah menjamur banyak kosan dengan harga di atas satu jutaan. Dulu sewaktu saya SMA, sambil menggendong ransel yang super berat, karena bekal dan buku, saya masih melihat satu rumah keluarga, dan masih pula melihat pohon yang hijau menghiasi rumah tersebut. Kini jangankan pohon hijau, pot bunga pun tidak terlihat sama sekali. Bangunan itu sekarang menjulang kokoh berlantai empat. Dipenuhi berbagai fasilitas dan sebenarnya menyalahi aturan. Ya.. setau saya.. bangunan di kompleks perumahan maksimal berlantai tiga, yang berlantai empat harus mengantongi izin, dan bukan kos-kosan. Sebenarnya agak miris, namun bisnis ternyata terlihat manis.

Kini... dengan bergantinya ransel lama yang berusia sudah lebih dari enam tahun, saya juga melihat banyak perbedaan melalui ransel baru. Perbedaan, perbandingan, dan perubahan sudah menyerbu waktu yang datang silih berganti. Ransel baru saya, sudah saya ajak melihat-lihat sekitar rumah saya dan saya ajak berjalan-jalan agak jauh. Ransel baru saya mungkin akan menjadi saksi cerita baru di tahun 2013. Ransel lama saya mungkin akan bercerita banyak hal di enam tahun ke belakang. Kemudian, saya akan menggendong banyak koleksi perbedaan, perbandingan, dan perubahan yang terjadi di sekitar melalui ransel-ransel saya. 

Sabtu, 06 Juli 2013

:(

Ternyata postingan "Cuap Cuap Owl City Concert" lenyap di telan dunia internet. Entah ke mana. Padahal paragrafnya ngalahin tugas makalah. Ya udah... someday... ditulis lagi ceritanya. HIKS....

Jumat, 05 Juli 2013

Film-FTvku

Tadi mimpi atau cikal bakal cerita FTV ._.

Sebenarnya tidur siang yang baik itu cuman tiga puluh menit. Namun, apa daya tadi tidur hampir satu jam. kebo banget yak. Penyebabnya ya gara-gara mimpi. Mimpi yang jangan sampai bangun lagi. Soalnya... di dalam mimpi bercerita mirip Film Pendek. Astaga.... baru ingat, kalau ternyata jam-jam tidur siang adalah jam siaran FTV. Berarti baru saja, FTV tayang di dalam mimpiku. Oh... no.

Ceritanya hampir mirip Film gitu. Tapi belum ada ending bahagia. Mirip FTV yang gak masuk akal.

Suatu siang yang terik, seorang perempuan mengelap keringat di keningnya. Ia sedang menunggu angkutan kota di dekat sebuah mal. Perempuan itu memakai tas ransel berwana cokelat, memakai rok selutut, kaos hitam, dan sepatu tali berwarna biru. Angkutan kota yang ditunggu, akhirnya datang juga, ia naik dan ternyata ada seorang laki-laki di dalam angkutan tersebut.
Lelaki itu menatap perempuan itu tajam. Perempuan itu balas melihatnya. Mereka menemukan sesuatu di dalam pandangan masing-masing. Tanpa tegur sapa, mereka berdua nampak terkejut. 
"Kamu?" Lelaki itu memulai
"Ya?" Perempuan itu mengerutkan kening. Pura-pura tidak mau tahu, padahal sudah terjadi sesuatu
"Kamu yang pernah diajak ketemuan, namun selalu menghindar" Lelaki itu semakin menatap tajam
"Ha? Kamu siapa sih? Sok kenal!" Perempuan itu menghindar, bersikap sangat tak acuh, perempuan itu lalu minta berhenti. Kemudian angkutan kota menurkan perempuan itu.
Tidak hanya perempuan itu yang berhenti. Laki-laki tadi ikut turun bersamanya.
"Iya.. kamu - " Lelaki itu menunjuk setelah sampai disebuah trotoar.
"Iya... saya - . Kamu siapa sih?" Dibalik pertanyaan "kamu siapa sih?" perempuan itu memendam suatu kesimpulan
"Kamu, kenapa selalu menghindar ketemu aku?"
Perempuan itu memandang mata laki-laki itu tajam. "Siapapun kamu... kamu gak lihat fisikku. Aku pendek. Dekil. Muka bulat. Jauh dari foto profil!" Perempuan itu mulai memalingkan wajah.
"- ... iya kamu -!" Lelaki itu makin yakin.
"Kamu siapa?" Perempuan itu mulai menutup wajah dan ingin rasanya segera berlari.
"Aku..... "

*Terbangunlah aku dari mimpi. Seakan-akan... semua benar-benar terjadi, namun berbeda cara dan cerita*
 Plis..  tanda (-) anggap saja sebuah nama.

Sebenarnya cerita mimpi gak gini-gini amat.
Kalau mau agak FTV, supaya endingnya gak masuk akal, si perempuan ini turun dari angkot dan mau pergi menyebrang, namun ada mobil yang melaju kencang. Hampir menabraknya. Terus dia lempar mobil itu pakai batu, tanpa sempat memaki. Kaca mobil pecah dan laki-laki yang bawa mobil itu turun dari mobilnya. Berantem.. perkenala.. dan seterusnya =p

Minggu, 30 Juni 2013

Setiap malam minggu pasti teringat sesuatu. Bunyi dering yang selalu ditunggu. Sudah berminggu-minggu.Namun sekarang hanya cerita masa lalu. Semoga tidak galau karena ingin tahu.
Semua tentang kamu.

Jumat, 28 Juni 2013

Semester Enam

UAS Semester enam resmi ditutup. Siapkan mental untuk nilai yang sesuai 
ataupun tidak sesuai dengan harapan. Tanpa semoga =')

Akhirnya semester enam yang penuh lika liku, tugas ini itu berakhir sudah. Rasanya lega sekali bisa menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan cukup baik, walaupun tidak sempurna, dan masih banyak kekurangan. Semester ini buatku adalah semester paling berat dan memiliki beban yang lebih dari biasanya. Semester enam adalah semester dengan mengulang banyak mata kuliah. Mulai mata kuliah semester dua sampai semester empat. Rasanya ikut mata kuliah mengulang seperti tinggal kelas dan kembali lagi di pelajaran yang sama namun dengan rasa yang tidak malu seperti tinggal kelas di sekolah.

Ada sepuluh mata kuliah yang harus ditempuh dan rasanya itu jujur saja berat. Semester enam tidak lagi memikirkan bagaimana teman mendapatkan nilai baik, semester enam cendrung "menyelematkan diri masing-masing" saja tidak perlu mengurusi urusan teman atau orang lain. 

Rasanya mendapatkan nilai A itu mungkin hanya sampai sebatas keajaiban. Nilai B saja rasanya bersyukur bukan main. Apalagi, jika nilai B itu ada di bagian mata kuliah mengulang, rasanya itu anugerah. 
Memang tidak bole membatasi cita-cita, namun ekspektasi tinggi terhadap nilai juga harus diredam, karena mental juga harus disuruh untuk menerima kegagalan demi kegagalan.
Namun tetap saja ada orang yang tidak bersyukur karena mendapatkan nilai "B", seakan-akan nilai itu bukan mencerminkan kepintarannya. Bahkan ia tidak akan tau ada temannya yang sampai menangis demi mendapatkan nilai "B".
Sebenarnya, yang paling menyedihkan adalah nilai C dari hasil kerja keras berhari-hari. Iya itu sedih banget.
Beberapa orang mengatakan "semoga kuliah bukan hanya sebatas nilai." Namun, di mana letak tanggung jawab jika nilai tidak maksimal. Beberapa dosen terkadang hanya tahu hasil, tanpa tahu mengapa anak ini rajin namun kurang. Iya... yang mereka tahu adalah hasil akhir. Ini bangku kuliah, bangku orang dewasa, bukan bangku anak-anak yang harus diayomi, begitu mungkin pikirnya.

Apalagi, mempunyai orang tua yang belum pernah mencicipi bangku kuliah, tentu saja yang mereka tahu adalah nilai yang baik dan lulus tepat waktu. Orang tua seperti ini akan sulit memahami keadaan anaknya di kampus, sekalipun anak itu sudah babak belur mengerjakan tugas. Belum lagi ditambah ketidak beruntungan yang sering datang, ya itu tadi nilai yang biasa-biasa saja. Mereka hanya tahu anaknya berangkat ke kampus dan pulang lalu tidur. Begadang lalu pergi ke kampus lagi. 

Sekarang aku takut berekspektasi tinggi, nilai B saja sudah anugerah, apalagi sudah belajar dan mengerjakan sampai babak belur. Jadi ingat postingan dulu, "bukan ukuran saya" iya... pekerjaan saya hanya melalukan tugas dan tanggung jawab semaksimal mungkin. Sisanya biarkan keajaiban Tuhan yang berkarya dan kebaikan hati para pengajar.

Tidak mau berandai-andai lagi. Tidak mau lagi memakai kata "semoga", karena tidak semua harapan berujung kepada kenyataan.

Minggu, 23 Juni 2013

Sepulang Gereja

Sepulang dari gereja, aku dan teman-teman bersepakat untuk berkumpul. Rencananya hari ini kami akan membicarakan rencana pernikahan teman kami. Iya... teman kami sebentar lagi akan menikah. Wah... tidak disangka-sangka. Ternyata kami semua hampir dua puluh dua.
Sebenarnya aku agak tersendat-sendat menuju lokasi pertemuan. Betapa tidak, aku tidak tau lokasi yang dimaksud. Namun untunglah.. temanku dengan baik hati, mengirimkan pacaranya untuk datang menjemputku.
 Di atas meja makan, kami berlima berkumpul. Aku bahagia. Akhirnya kami, teman-teman sidi yang biasanya sibuk sendiri, bisa dekat lagi.
Di antara kami berlima, yang sudah punya 'calon' pendamping ada dua orang.
Perbincangan pernikahan seputar tempat pernikahan, adat yang akan dipakai. Temanku yang sebentar lagi akan menjadi calon pengantin, ternyata mendapatkan orang dari suku Batak. Hihihi.... dia sih pernah berucap, bahwa tidak akan memakai adat-adat yang terkenal dengan ribetnya. Namun... ujung-ujungnya tetap saja, adat harus dipakai. Begitu prinsip calon keluarga laki-lakinya.

Berbincang cukup lama, tunjuk sana sini siapa yang selanjutnya menyusul untuk menikah. Kami tertawa, tentu saja yang punya calon lebih dahulu, ujarku. Tiga orang yang belum memiliki calon ternyata sigap menerima semua pertanyaan mengenai pertanyaan masa depan ini.
"Ayo Hen..." kata kedua temanku. Jadilah kami silih ganti meledek sana sini.

Sebenarnya yang paling aku takutkan adalah salah satu temanku yang sempat aku ceritakan tentang seseorang yang kerap kali ingin bertemu denganku dan ia kemudian menjadikannya bahan bercandaan. Sebenarnya aku tidak suka. Namun.. ya sudah.. anggap saja angin lalu. Untung ketika ia menyebut namanya, teman-temanku tidak menyadari. Aku teruskan saja bercandaan kami. Hampir saja terbawa memori masa lalu.
Namun... aku menjerit dalam hati.. Aku tetap mengharapkan yang terbaik, sambil menanti dan memilih.
Pada akhrinya, aku memiliki kesimpulan :
Seharusnya yang belum pasti disimpan saja sendiri. Jangan terlalu dibagi-bagi. Nanti kalau tidak jadi. Ujung-ujungnya kecewa sendiri.

Akhirnya percakapan mengenai pernikahan temanku sampai di sini. Kami pulang dengan memiliki kesan dan penilaian masing-masing terhadap calon temanku. Semoga Tuhan menggoreskan cerita yang indah kepada hidup kami. Amin :)

Rabu, 19 Juni 2013

KAMU SEDANG BOSAN

Saya sedang mengingat sesuatu. Waktu terkahir hari sabtu. Tidak ada lagi dering telepon setelahnya.
Bahkan saya bermimpi ada yang pergi dan tidak kembali lagi. 
Suara itu menjelma saat saya ingin lupa. Berangsur tetap tenang dan tidak ingin lagi semakin terluka. 
Itulah mungkin mengapa saya menarik kesimpulan, bahwa kemarin kamu hanya bosan.
Mencari yang dapat dihubungi dengan enggan. Mencari yang dapat ditanyai dengan kesal. Mencari yang tidak pasti. Sehingga pada akhirnya kamu memutuskan untuk pergi. Dan saya lupa diri.
Saya mungkin menanti, mungkin masih mencari, mungkin masih menyisahkan ragu. Namun lambat laun saya mengerti, betapa kekonyolan mungkin saja terjadi ketika kita bertemu nanti. Penyesalan yang mungkin tidak bisa ditawar lagi. 
Kamu hanya bosan. Saya percaya itu. Seharusnya saya tidak ada waktu untuk memikirkan kamu. Namun yang ada hanyalah sebuah harapan yang cuma-cuma. Keinginan menjemukkan.
Seharusnya saya percaya kamu itu sedang bosan. Bosan dengan kehidupan nyata. Bosan dengan penantian yang ada. Sehingga kamu menghubungi saya, melarikan diri dari bosan. Kemudian pergi dan selamanya pergi. Kamu sedang bosan. Saya tiba-tiba lupa, kamu siapa?

Follow my Twitter @_heniie