Rabu, 27 Februari 2013

Takut Malu Bertemu

Sebenarnya yang paling menakutkan menyukai seseorang adalah bertemu dengan orang itu sendiri. Takut keliatan jelek, takut salah ngomong, dan takut takut yang lainnya. Itulah mengapa aku sering menghindar sejauh-jauhnya. Karena ya itu tadi, takut.
Lebih baik tidak bertemu dan menyimpan perasaan dengan sungguh-sunggu. Daripada bertemu, kalau dia tahu. Malulah aku.
Pengalaman aku cukup rumit soal temu bertemu ini. Jika terpaksa harus bertemu dengan terpaksa, kalau bisa jangan sok lucu. Tapi ya mau gimana lagi aku kan emang lucu *skip*
Terus, kalau misalnya ketemu, kalau bisa jangan lama-lama. Tau dong rasanya. Deg deg juaaar... ngomong jadi belepotan gak jelas. Kaki seribupun beraksi. Melangkah dengan pasti. Meninggalkannya pergi. Sejauh mungkin. 
Iya payah. Terserah deh terserah.
Namun sepengalamanku (lagi), saat ketemu tuh harus yah... minimal bersolek dikit lah... namun sesudah ketemu, taukah kamu, bahwa hasil bersolek sudah bubar semua. Apalagi saat foto bersama misalnya. Itu pasti jadinya jelek tiada terkira.
Tapi gak papa... yang penting ketemu kan? Seharusnya malu dan takut bisa menjadi nomer sekian.
Tapi gak bisa. Itu sudah sulit sekali untuk diminimalisir.
Sekian post ngawur aku malam ini. Peluk cium untuk yang masih takut, malu, namun ingin bertemu.


Senin, 25 Februari 2013

"Nanti Kalau Sudah Waktunya"

Gue senang mendengar teman-teman bercerita tentang perjalanan cinta mereka. Walau jenuh dan bergulat di cerita yang masih sama. Namun gue senang mendengarnya. Kisah mereka unik, mengulik dan membuat inspirasi. 
Gue sebagai teman yang rese pun sering berkomentar. Membuat ulah dan saran-sarang yang gak masuk akal. Sekadar ikut nimburung, ikut tertawa, dan ikut men"cie-cie"kan.
Selebihnya gue diam.
Gue kadang-kadang berceletuk "yaelah... gitu doang" atau "ayo dong pastikan", 
"mau sampai kapan sih?" atau "siapa lagi sekarang?"
Namun teman-teman gue baik semua. Mereka jarang beceletuk "Jomblo sih", namun mereka lebih sering menggunakan kiasan yang lebih apik, misalnya "Heni sih gak ngerasain"
Hem... separah itukah aku? Ini sudah semester akhir dan rasa belum juga berubah.

Selalu membual puisi rindu, menaruh hati kepada si abstrak yang entah siapa itu.
Selalu komentar sok bijak. Padahal komentarnya cacat permanen.
Sebenarnya, gue sendiri sadar. Akan keberadaan si dia, sia dia, dia, dia yang cuman ada di hayalan --"
Tapi gue gak berani berkespetasi tinggi. Gue gak berani berharap lebih. Karena sakit hati, sembuhnya gak cukup sekali.
Inspirasi cerita gue kadang-kadang dari masa lalu, yang sebenarnya nggak pernah menjadi awal. Sampai pada akhirnya, gue kadang-kadang memosisikan diri gue di antara mereka. Bagaimana mereka tersenyum karena rindu, menangis karena sudah terlalu pilu, dan tertawa karena dia lucu.
Gue mencoba memahami itu.
Namun.... pada akhirnya seorang teman berkata "nanti kalau sudah waktunya, kamu akan merasakan seperti kita Hen. Sekarang dengarkan kami saja dulu"
Lalu aku diam, berdoa, dan mengaminkan. Entah kapan waktu "itu" :)

Minggu, 24 Februari 2013

Sederhana Saja

Malam ini, aku merasa sedang berbicara dengan seseorang di atas sana. 
Aku baru saja memandang bulan lama sekali. Sambil menunggu angkutan umum datang menjemput. 
Lama juga aku terpana dengan lampu-lampu jalanan, suara bising kendaraan beroda dua, harum asap sate yang mengebul dari pendagang kaki lima, dan suara hatiku sendiri.

Sudah pukul delapan malam lebih rupanya aku berada di sini. Aku senang memerhatikan. Memerhatikan mereka yang bercengkrama sambil menunggu martabak keju selesai dibuat. Tidak lupa aku berdoa dalam hati. Semoga Bandung, tempat aku mengadu tetap aman dan selalu baik hati. 
Aku merasa sedang berbicara dengan dia yang sudah pergi. Sudah pergi meninggalkan yang hidup. Aku rasa jika ada teori bumi itu bulat, perlu ditinjau lagi kebenarannya. Malam ini aku merasa bulan mengikuti. Bulan itu kan satelitnya bumi. Aku merasa satelit itu mengirim sinyal-sinyal kepadaku. Entah apa. Pesan itu belum kutangkap maknanya.

Bulan malam ini tidak bulat. Tidak juga sabit. Ia hanya putih. Namun putih yang tidak bersih. Aku rasa itu sebuah lambang bagaimana hidup manusia. Abu-abu warna bulan itu, persis seperti warna yang tidak hitam dan tidak putih. Refleksi hidup manusia yang sedang dilanda kebimbangan. Bingung memilih.
Dalam lamunanku di pinggir jalan, sebenarnya aku ingin bertegur sapa dengan sesorang di atas sana. Di samping sana, di depan sana. Di manapun. Sebenarnya.

Namun kala itu angkutan umum sudah datang. Aku naik. Mencari tempat duduk yang masih kosong. Duduk dekat pintu. Angin juga tidak kalah mengejar. Ada pesan yang belum ia curahkan. Aku rasa begitu. 
Ku simpan rapat-rapat, pesan angin yang berhembus lebih kencang. 
Aku menunduk.
Oh! Ini dia kudapat pesannya. Lebih sering rendah hati. Lebih sering bersabar. Lebih sering lapang dada. Maka 'angin' yang menerpamu lama kelamaan akan semakin  berkurang.
Aku suka lambang-lambang semesta. Lamunan sesaat. Dan cara Tuhan menunjukkan. Sederhana saja.

Kamis, 21 Februari 2013

SERIUS SANTAI

Semua mengkatakan "KALEM", semua mengatakan "Santai".
Dan... pada akhirnya pekerjaan tidak selesai-selesai. Pada akhirnya inisiatif bekerja menjadi kurang, karena perinsip SERSAN ini. Iya.. "serius santai". Sampai sekarang entah di mana saya bisa menemukan pertemuan antara "keseriusan" dengan "santai". Menurut saya, itu ibarat air dan api. Sulit bersatu.
Contohnya begini, jika ada kebakaran, konsep "Sersan" sama sekali nggak bisa dipakai. Kalau memakai konsep itu sama ajah itu bikin orang susah.

Jangan meremehkan pekerjaan dan tanggung jawab. Itu sama sekali nggak membuat kamu merasa lebih "santai" dan pekerjaan selesai.
Itu saya alami. Iya.... saya sering ditegur oleh beberapa orang karena saya terlalu serius, terlalu sering ngomel kalo kerjaan gak tuntas, sering "ngebossy" kalau misalnya melihat orang dengan inisiatifnya rendah. Suka gemas dengan sikap orang-orang yang bilang "kalem" tapi hasilnya nol besar.

Saya diajarkan untuk melakukan suatu pekerjaan tepat pada titik keseriusan sebisanya. Kenapa? Karena santai itu ada waktunya. Kamu mau saat kamu santai diganggung oleh suatu pekerjaan? Saya sih tidak.
Jadi mulai sekarang saya dan kamu harus pandai mengatur waktu, mengatur diri, dan kalau misalnya udah gemas sama seseorang atau suatu pihak, atur saja dia. Kalau nanti dibenci, itu urusan mereka. Urusanmu menyelesaikan pekerjaan tim, memberitahu mereka. Kalau mereka "leyeh-leyeh" pergilah dan kerjakan sendiri. Percuma menyuruh seseorang yang radar inisiatifnya di bawah nol persen.

Oke sekian unek-unek saya hari ini. Bubaaaarrrr rasa dendam. Saya mau istirahat dengan malam terpejam. Selamat malam.

Please, thank you, and Sorry

Apa hubungan "Please", "Thank you", dan "Sorry" dengan suatu budaya?
Jika dalam bahasa Indonesia "Tolong", "terima kasih", dan "maaf".
Tiga kata itu merupakan sebuah terjemahan penting dari cermin sikap hidup suatu budaya.
Mengapa? Itu baru terjawab tadi siang.
Siang tadi di kelas C2.07, tergambar sudah apa perbedaan kebiasaan pengucapan ini jarang ditemukan di budaya Indonesia. 
Do you remember something?
Karena budaya kita tidak menghargai sastra. Sastra emang gak langsung berdampak seperti mempelajari ekonomi. Hasil dari sastra adalah tulisan. Ketika tulisan dibaca, pikiran sesorang dikemukakan melalui bait-bait tulisan, maka akan timbulah sebuah kebijaksanaan baru. 
Itulah mengapa orang 'barat' tidak sungkan-sungkan mengatakan "please", seperti di Indonesia yang sulit sekali untuk dilakukan memnita kata dengan memakai kata "tolong". 

Ketika saya mengikuti mata kuliah ini, sorenya saya dikejutkan dengan suatu sikap seseorang. Iya... seseorang itu adalah ketua kelompok tim kami sewaktu kuliah kerja nyata.
Seharusnya saya tidak boleh mengukur, namun saya dan teman saya sudah bekerja keras. Alangkah tidak bijaksananya beliau. Sama sekali tidak mengucapkan "terima kasih" atau "thank you"
Saya jadi teringat sesuatu. Waktu saya dan teman saya masih mengerjakan laporan tim kami, dia dengan seenaknya menanyakan "Laporan kapan selesai?" 
WHAT? Saya tersinggung. Dia sama sekali nggak menanyakan "Ada yang perlu dibantu?" atau "Ada yang masih kurang?" atau MINIMAL.... dia berkata "Laporannya kapan selesai? Tolong"
Di mana tiga kata yang sederhana itu? "Tolong", "Maaf", dan "Terima kasih"

Sebenarnya ketika di dalam kelas sudah diterangkan bahwa budaya kebiasaan membaca yang seharusnya diterapkan sejak kecil mencerminkan sikap atau tingkah laku seseorang di lingkungan sosialnya.
Saya sebenarnya kecewa. Ketika seseorang dengan jahatnya tidak memakai ketiga kata itu.
Satu hal, jangan sampai kata "Maaf" atau "Sorry" menjadi kata yang 'biasa' saja untuk diucapkan. Karena di dalam suatu bacaan, di dalam suatu pemikiran juga, kata "Maaf" mempunyai arti secara dalam, jadi hendaklah menggunakan ketiga kata ini secara bijaksana.
Cara bijaksana itu mudah, sering membaca, memahami, dan peka terhadap kehidupan sosial. 
Sekian celotehan saya.
Selamat malam.

Rabu, 20 Februari 2013

Indeks prestasinya di bawah tiga koma. Namun ia rajin membaca buku. Merayu dengan puisi terjitu. Tidak pernah malu membantu. Tidak fasih berbicara di depan kelas. Tidak juga pandai menjawab soal-soal esai ketika ujian. Dia sahabat karibku.

Minggu, 17 Februari 2013

Dibalik Heni Punya Cerita

“I keep opening Twitter although there is no mentioning. That’s annoying but I can’t stop. The timeline is often boring, but I just keep checking it”
Nah.... ini sedikit kutipan dari sebuah berita bahwa membuka media sosial yang terlalu sering menyebabkan ‘Pathological’ Disorde. Apa itu? Sila cek di >  http://www.thejakartaglobe.com/home/social-media-addiction-a-new-pathological-disorder/571887 

Nah... menilik menimbang mengingat, ternyata sayapun mengalaminya. Ya.... mengerikan. Saking tidak ada kegiatan yang dapat dikerjakan, saya melakukan buka tutup twitter hampir setiap hari, bahkan setiap jam. Kenapa? Padahal banyak buku yang harus saya baca dibandingkan dengan menilik media sosial. 
Saya menyesal. Titik.

Inginnya seperti teman-teman yang berprestasi lainnya, ia mengikuti kegiatan lomba sana-sini, mengikuti les ini itu. Sedangkan saya? Cuma meratapi timeline, mengacak-ngacak perasaan, dan sulit sekali fokus membaca, kecuali di dalam kendaraan yang sedang berjalan. 
Kegiatan membutuhkan topangan dana yang cukup, kecerdasan yang memumpuni. Saya kurang mengasah itu semua. Maka dari itu blog ini adalah sebuah pelampiasan saya dalam mengutuk waktu yang terus berjalan, namun saya kurang menghasilkan apapun di dalam hidup.
Minimal ketika saya say "Good bye" kepada dunia, saya punya cerita yang bisa dibaca, walaupun tidak semuanya dunia harus tahu.

Jumat, 15 Februari 2013

Kupu-kupu dan Udara Bersih

Melihat kupu-kupu terbang adalah sebuah anugerah. Ternyata di sini masih ada udara bersih.
Karena menurut penelitian, kupu-kupu tidak menyukai udara kotor dan dipenuhi polusi. 
Saya jadi teringat tentang pelajaran sejarah revolusi industri di Inggris. 
Di sana ketika revolusi terjadi, kupu-kupu jarang menampakan dirinya, karena asap hitam yang menyelimuti. Kalaupun ada kupu-kupu, maka yang terlihat kupu-kupu tersebut akan terlihat berwarna hitam. Menyedihkan.

Sebenarnya, kupu-kupu bisa saja menjadi kadar apakah suatu lingkungan tersebut bersih atau tidak. Berpolutan atau tidak, dan banyak pohon atau tidak.
Kupu-kupu selain mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, ia juga menjadi kadar dari seberapa penting lingkungan yang asri untuk kehidupan.
Jangan menerka-nerka bahwa kupu-kupu adalah mahluk yang lemah, ia menjadi kawan sejati bagi bunga-bunga yang terlihat jelek, namun tetap dihinggapi.
Lihat saja betapa kupu-kupu bertenaga menompang sayapnya, kakinya begitu kecil mungil.

Pembahasan saya kali ini mengenai kehidupan kupu-kupu yang notabene jarang sekali nampak di kota-kota besar. Ini pasti karena kadar polusi di kota besar semakin meningkat, pohon yang berkurang, dan gedung-gedung tinggi dengan gagah berani menjulang.
Kupu-kupu tidak mungkin bertelur di sebuah bangunan yang super kokoh, ia hanya bisa bertelur di sebuah pohon rindang, dengan jutaan daun.
Menurut saya, dapat saja kupu-kupu menjadi indikator sebuah negara, apakah negara tersebut mempunyai cukup ruang terbuka hijau atau tidak.

Ayo budidayakan pohon, supaya kupu-kupu sudi mampir.

 

Kamis, 14 Februari 2013

Gemas

Gemas  melihat orang yang berada dalam suatu ruangan dengan diskusi tanpa mutu, tanpa memberikan pengaruh kepada pendengar yang lainnya. Gemas ketika melihat beberapa orang dengan lambannya bekerja dan terus menerus bertanya. Gemas rasanya ketika melihat beberapa orang dengan manisnya duduk sedangkan rasa peka terhadap sekitarnya sudah berkurang. Dan gemas dengan seseorang yang tetiba menyimpulkan segala sesuatu menjadi lebih rumit, sedangkan itu hanya sebuah pernyataan sederhana.


Lagi Asyik

Ini soal kesukaan. Lagi suka denger lagu-lagunya Ed Sheeran sampai jenuh. Sampai Owl City kadang-kadang jadi nomer sekian. Secara gak langsung lirik-lirik dari lagu Ed Sheeran berbanding lurus dengan suasana hati sedangkan lagu Owl City berbanding sama saja dengan suasana pikiran.
Jadilah dari pagi sampai pagi lagi, dengerin lagu Ed dan lagu Owl. It's a little helping me. For what? For Write up =))
Lagu Ed yang lagi ngetrend di telinga saya adalah "Cold Coffee" , "You Break Me", "Autumn Leaves" , "Drunk", "Sofa", "I'm Glad I'm not You" .
Lagu Owl City sudah bukan ngetrend lagi, mungkin kalo On The Spot di Trans 7 lagi masang lagu Owl City saya bisa bergumam mengikuti irama.

Oh iya, target menulis setiap hari di blog, kadang agak susah teralisasikan. Facebook dan twitter dengan seenaknya mengambil posisi menulis. Lalu dengan pusingnya harus membereskan pekerjaan. Ah sibuk itu harus, menganggur itu adalah sesuatu yang berguna juga.
Lirik lagu juga kadang-kadang mengambil posisi waktu. Lebih sering mencari lirik dan menerjemahkannya. Itung-itung belajar Bahasa Inggris, tapi tetap ajah susah, padahal udah belajar Bahasa Inggris dari kelas tiga SD. Tetap ajah susah. Kenapa? Soalnya gak learning by doing, soalnya belajarnya setengah-setengah, soalnya gak nyadar kalau ternyata lagu dan film lebih efektif meningkatkan kecerdasan berbahas. Baiklah kita skip saja bagian kesadaran ini.

Sebenarnya lagi random mau menulis apa, maka dari itu tulisan kali ini berjudul "Lagi Asyik", iya lagi asyik ajah menikmati saat-saat menganggur sebelum masuk kuliah, sebelum menemui beberapa dosen dan mendengarkan mereka dengan penuh hikmad. Sebelum kecewa kalau ada beberapa nilai yang nggak masuk target. Yuk... marilah berpikir positif untuk semester ini. Hem....

Oh iya, mau sedikit curhat soal bagaimana perasaannya memilih sastra sebagai penjurusan. Rasanya sebenarnya nggak siap, campur-campur, suka sih, tapi ternyata susah. Teori-teori yang banyak dan entah nanti bagaimana caranya bisa dijadikan bahan dasar pembuatan skripsi. Oh my....
Tapi yakinlah ketika kesiapan bertemu keberuntungan itu akan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan. Ya... percayalah :)
Jadi bagaimana caranya siap? Terus membaca, terus berkreasi. Bukan "Karena", namun "sudah harus"

Karena ini tulisan ngalor ngidul jadi bolehlah diposting :p

Rabu, 13 Februari 2013

Dear Kamu

Hai kamu. Sudah lama tak saling membalas. Tidak saling menyapa. Mengungkapkan asa.
Hai kamu. Jika kemudian kamu pergi dan aku berharap kembali, bolehkah aku menunggu dengan pasti. Jawaban tanpa sebuah bertanya. Perjuangan tanpa mengenal lelah.
Bolehkah cara bertegur sapa yang terdahulu terulang kembali, tanpa ada rasa canggung dan malu.

Kesibukan kadang boleh menjadi alasan, mengapa setiap jengkal perpisahan harus segera dilakukan. 
Sebuah penolakan kadang lebih menyakitkan ketimbang kembali berjuang. 
Dan kadang... sebuah penyesalan tidak kalah mengerikan dibandingkan mengharapkan kembali.
Dear kamu yang sempat berjuang, bolehkah kutitipkan kembali perkenalan yang sempat tertunda, terpendam cukup lama. 
Tidak pernah ada waktu yang tepat, ketika kamu menyampaikan perasaan. Tidak pernah ada titik yang berada di tengah secara nyata jika pada akhirnya kamu kembali pergi dan tak kunjung kembali.

Dear kamu, padahal aku mengharapkan waktu dan titik itu hadir secara bersamaan. 
Mungkin bukan sekarang, mungkin esok hari. Jika matahari mengerti kenapa ia harus bersinar cukup terik dan menyengat pada waktu yang tepat.
Bukan pada saat hujan di suatu gedung tua, dengan sebuah teka teki tanpa tujuan dan jawaban.
Bukan pula pada saat ketidak siapan menunjukan rasanya.
Dear kamu berjuanglah, menyampaikan salam rindu pada langit ketujuh.


Selasa, 12 Februari 2013

Temu Rindu

Perasaan yang paling sulit dimengerti adalah perasaan rindu dan saling menyukai.
Di antara keduanya, rindulah yang paling mudah dibohongi. 
Rindu itu berbentuk rasa jenuh ingin bertemu menanti waktu.
Jika rindu terlalu tabu untuk diutarakan, maka tindakan yang paling tepat adalah mengadu.
Kepada siapapun itu.

Waktu itu di malam kelabu. Setiap jengkal berbuah pilu. Kepada siapa harus mencari tahu.
Kuketuk pintu rumah, terbuka pertanyaan satu-satu. Salah siapa tidak memberitahu. Dia hanya menyiapkan jawaban abu-abu. Lalu aku duduk menyiapkan rindu.



Bukan Ukuran Saya

Apa sih menurut kamu keberuntungan?
Menemukan uang 100.000 di pinggir jalan?
Mendapatkan makanan gratis ketika lapar?
Mendapatkan hadiah tanpa diminta?

Saya pernah mengalami keberuntungan dan masa kejayaan pada tahun 2008. Sudah lama sekali ya.
Waktu itu saya mendapatkan keberuntungan jalan-jalan ke negara tetangga, hasil dari kompetisi menulis. Kemudian di tahun yang sama pula, saya mendapatkan lima besar di kelas. Di tahun berikutnya keberuntungan masih sudi mampir. Saya beruntung lulus SMA dan lulus SNMPTN, namun tidak diteruskan. Saya memilih bekerja. Kemudian di tahun berikutnya saya mencoba SNMPTN lagi, di jurusan yang sama dan universitas yang sama. Keberuntungan masih berbaik hati menunjukan konsistensinya, saya pun diterima.

Sekarang, setelah saya menjalani hari-hari di bangku tempat menimba ilmu, saya merasakan keberuntungan perlahan mundur dan kerja keras kadang hanya berbuah keluh kesah. 
Saya menghitung berkat, sebenarnya banyak. Namun entah kenapa berkat-berkat besar saja yang paling mudah diingat, berkat-berkat kecil dengan halusnya dilupakan. Ah... manusia.

Saya merasa saya sudah bekerja keras dan mengorbankan segalanya. Namun kenapa hasil yang dicapai belum juga mencapi optimal. Ada kalanya saya ingin menyerah. Berpasrah begitu saja pada keadaan. Saya rasa saya pun sudah mengecewakan orang-orang terdekat saya dalam memotivasi saya agar lebih ke arah lebih baik.
Saya rasa teman-teman saya lebih beruntung untuk mendapatkan perburuan nilai di bangku menimba ilmu.
Saya merefleksikan diri. Mengambil jeda dalam setiap detik yang mengalir.

Ini, bukan ukuran saya. Saya mengukur, saya sudah bekerja keras, belajar sungguh-sungguh, bersemangat tanpa jeda, namun itu juga bukan ukuran saya.
Ukuran Mahapemberi berbeda dengan ukuran saya. 
Waktunya pun berbeda. Dan waktu keberuntunganpun bukan ukuran saya.
Bukan ukuran saya, saya sudah melakukan yang terbaik.
Saya cuman ditugaskan untuk melakukan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Penilaian manusia juga bukan ukuran saya. Seharusnya.
Saya cuman diperbolehkan mengerjakan bagian saya. Selebihnya bukan urusan saya.
Seharusnya saya mengerti itu. Namun kenapa saya masih berkeluh kesah.
Saya cuman mendapat bagian untuk berjuang. Apapun hasilnya, seharusnya saya juga mengerti itu bukan ukuran saya.
Demikian refleksi saya malam ini.

Semangat semester yang baru, semoga tidak lagi mengukur melalui ukuran saya. Karena itu bukan bagian saya. Bagian saya adalah bekerja dan berdoa.

Senin, 11 Februari 2013

Pengalaman Kekuatan Pikiran

Bukannya ingin berjika-jika atau berif-if ria, namun jika perasaan dan kekuatan pikiran terlalu tangguh untuk dipatahkan. Saya rasa benarlah jika mengikuti kata hati tidak pernah ada ruginya. Itu yang saya alami siang kemarin. 
Sebelum saya pulang ke Bandung dan memutuskan untuk mengabaikan perasaan negatif, sayapun berharap setiap saya bangun tidur, saya tidak melupakan kejadian ini. Sungguh. 
Dulu, pada saat pemilihan anggota Osis di SMA, saya bertingkah menyebalkan, mengesalkan, dan hampir-hampir membuat senior memboyong saya ke dalam eleminasi. Waktu pengumuman anggota pun dimulai, akhirnya saya tidak diterima. Perjuangan terhenti. Hati saya hancur (Oke, ini berlebihan, tapi itulah kenyataannya) rasanya sia-sialah pengorbanan saya selama ini. Menginap di sekolah, bukanlah perkara mudah. Dibangunkan pada pukul 02.00 dini hari juga bukan sesuatu yang gampang dilakukan. Apalagi saya hobi tidur sejak bayi.

Tapi pikiran saya dipertaruhkan. Waktu itu saya berpikir positif, pasti ini hanya sebuah akal-akal senior, saya bandel, tapi saya punya potensi. Oke itu pikiran saya. Saya pasti diterima. Nah.... ini kekuatan pikiran yang paling ekstrim.
Hingga terjadi suatu perjanjian, bahwa saya tidak akan percaya lagi kekuatan pikiran, jika apa yang saya pikirkan adalah salah. Oke.
Tetiba... saya dikalungkan suatu lambang penerimaan sebagai anggota Osis. Well.. mulut kan emang gak bisa dikontrol. Suatu hari senior bilang begini "Makannya berubah sikapnya"
Dan.... inilah jawaban saya, sehingga senior membanting pintu "emangnya superman pake berubah segala" *BRAK - pintu di banting dan saya kembali dipanggil*
Sejak saat itu, tetap saja saya nggak pernah sadar, kalau kata-kata saya sering menyinggung. Tapi ya sudahlah, bukankan pengalaman merupakan cara terbaik agar segala anggota tubuh semakin dijaga cara menggunakannya. Nggak bermaksud membenarkan diri, cuman mengubah sikap itu susah, lebih susah daripada masak pizza di kompor gas.

Begitu juga di lingkungan sosial yang satu dan yang lainnya. Ada ajah.. masalahnya. Contohnya, tentang bagaimana kekuatan pikiran waktu ingin pulang dan menyelesaikan segalanya pada hari minggu, dan kembali ke pelukan Kota Bandung. Rasanya beban, meninggalkan kota tempat kuliah kerja nyata. Firasat berbicara buruk. Firasat tergambar dan alam menimbangnya. Saya rasa.
Dan.. benarlah... seharusnya kepulangan ditunda. Seharusnya hari senin adalah hari baik. Seharusnya.
Sekali lagi kekuatan pikiran dipertaruhkan :)

Firasat dipertaruhkan. Firasat membenarkan. Firasat membuat tenang. Firasat mengubah segalanya. Firasat membuat putus asa. Firasat itu rasa nano-nano.

Follow my Twitter @_heniie