Tubuhku terbujur kaku di dekat
perhentian bis kota. Beberapa orang datang bergerombol melihat keadaanku.
Kudengar sayup-sayup orang-orang berlarian memanggil taksi untuk membawaku
pergi ke rumah sakit. Sekarat! Kata salah satu orang. Mataku mulai menutup.
Hitam
Seingatku, aku sedang menelepon
seseorang. Menanyakan kabarnya, kabar ibunya, kabar saudara-saudaranya, dan ia
menanyakan kabarku juga. Aku masih membuat pembicaraan kami semenarik mungkin.
Kurapatkan jaketku, karena angin mulai kencang berhembus, pembicaraan kami
semakin tidak tentu arah dan hujan sudah mulai mengguyur jalanan. Aku berlari
menuju sebuah halte. Ponselku tiba-tiba terlempar jauh. Aku bahkan tidak merasa
sakit. Telepon genggam itu mungkin sudah menjadi sebuah serpihan-serpihan di
sudut-sudut trotoar. Aku tidak bisa bangkit. Pusing menyerangku.
Aku melihat bayang-bayang. Tangan
yang terulur. Aku tidak menghiraukan tangan itu. Aku butuh ponselku. Ponselku! Aku
berteriak entah kepada siapa
Dingin.
Rintikan hujan membasahi bajuku.
Tapi aku tidak merasa hujan menyentuh kulitku. Aku sudah mati. Mungkin. Kalau ponsel
itu bisa kubawa ke alam kematian. Aku ingin membawanya saat ini juga. Aku tidak
ingin menyesal telah berusaha menyelamatkannya.
Seorang laki-laki membawaku masuk
ke dalam taksi. Seorang ibu membawakan tasku. Ponselku masih entah di mana. Namun
aku tidak berucap meminta ponselku. Karena aku hanya dapat mengucap “aw”. Tanda
kesakitan.
Lalu gelap.
Mungkin aku sudah mati. Sekali
lagi kupikirkan itu. Aku melihat ponselku di ujung jalan. Tergeletak sudah
basah. Masih utuh. Tunggu... ini bukan di alam kematian. Aku masih melihat
ponselku.
Kutekan nomer telepon. Tidak juga
bisa. Aku melihat ke bawah aspal. Aku melihat seorang wanita sedang menelepon.
Namun ia tidak menelepon sendirian. Bayang-bayang seorang berada di baliknya.
Kedua bayang-bayang itu memegang ponsel. Bayang-bayang itu melakukan penyiksaan
diri. Ponselku kini hilang. Bayang-bayang itu masih bercengkrama sendiri. Aku
iri.
Aku berlutut di trotoar itu,
meminta bayang-bayang itu memberi izin aku bersama mereka. Mereka tidak dengar.
Mereka pergi. Sang wanita ke kiri. Sang pria ke kanan. Tidak tahu ke mana.
Banyak jalan yang bersinggungan. Aku berharap mereka bertemu di suatu titik.
Ketika aku melihat mereka hampir
bertemu di suatu titik. Aku berteriak. “Ayo sedikit lagi. Sebentar lagi”. Aku menyembah.
Memohon kepada bumi untuk mau menyatukan gravitasinya ke titik tersebut. Mereka hampir mendekat. Namun belum mendekat.
Aku menyentuh titik itu sebelum
mereka bertemu di sana. Kubuka mata, ada ibu yang menangis pilu. Titik itu
hilang. Bayangan pun hilang.
Kegiatan menyembahku sudah selesai.
Aku sudah kembali kepada nyata.
Tidak ada bayang-bayang. Hanya ada pelukan hangat dan sebatang jarum tanpa
ampun yang menusuk.