Sore itu ada anak kos yang hendak
pulang ke Jakarta. Orang tua anak kos itu begitu baik terhadap mamaku, sehingga
mamaku juga selalu bersikap sama dengan orang tua anak kos tersebut. Anak kos
itu selalu memesan masakan yang dibuat oleh mama dan selalu memuji bahwa masakan
mama itu enak. Kebetulan sore itu mamaku masak ikan bumbu kuning cukup banyak,
sehingga ia memberikan dua ekor ikan kepada orang tua anak kos itu. Ikan bumbu
kuning itu pun pergi menuju Jakarta.
Tidak berapa lama, sekitar lima
jam kemudian, ada pesan singkat di ponsel mama, ternyata dari ibu anak kos
tersebut. Ia mengatakan “Terima kasih ya bu, ikannya enak sekali. Kami langsung
habis menyantapnya. Terima kasih sekali lagi”. Mama menatapku, ketika aku
sambil makan ayam goreng dan dengan cara sederhana ia mengatakan “seneng ya
Hen, kalo apa yang kita kasih orang lain langsung menikmatinya. Apalagi
langsung mengucapkan terima kasih”.
Hari itu aku belajar sesuatu. Ibu
anak kos tersebut dapat dikatakan adalah orang berada namun ia tidak pernah
membeda-bedakan orang, bahkan mamaku yang hanya sekadar berstatus ‘ibu kos’
yang selalu mencuci pakaian anaknya. Ia selalu ramah terhadap mama. Paling penting
aku belajar satu hal, orang tua itu selalu mengucapkan “terima kasih” bahkan
kepada orang yang dianggap orang lain ‘tidak penting’. Kerendahan hati dan
kekuatan “terima kasih” menghantarkan aku pada suatu titik penting, betapapun
sederhana sebuah benda apapun juga dari pemberian orang lain, adalah suatu
keharusan kita mengucapkan “terima kasih”, karena disanalah kita menghargai
cara mereka memberi. Jangan sampai kita lupa mengucapkan “terima kasih” mungkin
saja, ia memberi dengan usaha dan kerja kerasnya sendiri.