Jumat, 15 Maret 2013

Kita Sedang Berteka-teki

Mungkin ada saatnya berbenah diri dan berhenti mencari yang tidak pasti. Mungkin ada kalanya hati tidak lagi terbagi. Pikiran tidak lagi berimajinasi.
Bagaimana tidak, kemarin malam ketika kamu datang mengetuk pintu kamar kontrakanku dan mengejutkan aku dengan sebungkus kado, tentu saja kado itu tidak rapih terbungkus. Aku tersenyum samar. Mengindikasikan sesuatu di antara sebuah kado dan kedatanganmu.
Kemarin bukan ulang tahunku. Bukan juga hari penting untuk kita. Lalu mengapa kamu datang dengan peluh keringat. Apa yang terjadi?
Aku menebak. Menebak hal yang negatif. Awan mendung seakan menaungi kita berdua.
Kamu menghela nafas panjang, aku diam terpaku, dan tidak ada satu katapun yang berani meluncur dari antara bibir kita berdua. Seakan maksud kedatanganmu adalah hal yang tidak patut dipertanyakan.
Aku tahu ada sesuatu yang salah. Apa itu?
Akhirnya aku menegaskan hatiku akan baik-baik saja. Aku bertanya. Diam lama kamu memikirkan sebuah kalimat. "Ada apa?" Pertanyaan konyol. Tentu saja tidak ada apa-apa. Yang membuatnya menjadi 'apa-apa' adalah alam bawah sadarku. Memikirkan situasi yang sedang kita hadapi.
"Besok siang, aku harus pergi"
DEG!
Aku tidak bisa melukiskan apa itu pergi? Kata kerja macam apa itu? Apa yang akan terjadi jika kata kerja itu menjadi sebuah tindakan.
Jika ingin mendapatkan jawabannya, hati dan pikiranku harus berjalan beriringan.
Aku mencari celah ketenangan.
"Ke mana?" tanyakan bersiap.
Ia menatapku dalam. Mencari kesiapan di dalamnya. Dia tahu aku siap dan ia menjawab ...

Berpura-pura

Segala yang terpenting sudah tidak bisa diakrabkan lagi dengan rasa. Entah mengapa bisa begitu. 
Mungkin karena sering terjadi kepura-puraan. 
Sebentar. Pura-pura? Jadi selama ini kita hanya beradu peran?
Sepertinya memang begitu. Pada dasarnya, mereka yang sering menedengar belum tentu paham apa yang didengar. Mereka yang melihat belum tentu paham apa yang dilihat. Begitulah..... mereka berpura-pura paham dan saling memahami.
Sebenarnya menahan rasa sakit, juga merupakan tindakan berpura-pura. Mencoba bahagia. Mencoba akrab. Mencoba berpura-pura merupakan tanda awal.
Sebenarnya, tidak ada yang memperhatikan. Namun kau terus melaju, melangkah dalam kesendirian, seakan-akan dunia mengerti kamu. Sebenarnya, dunia juga sedang menimang-nimang penuh kepura-puraan.
Kalau saja, ketulusan itu benar-benar ada.
Kalau saja kejujuran itu benar-benar ada.
Kalau saja persahabtan sejati itu benar-benar ada. Mungkin... ah... sudahlah.. berandai-andai kadang melelahkan.
Menguras segala jenis peran yang sering dipelajari.

Jumat, 01 Maret 2013

Sebuah Pengalaman (1)



Teman dan Sahabat. Friend and best friend.  Berbeda? Iya memang. Saya punya pengalaman yang menarik mengenai istilah ini. Ketika ditanya oleh salah satu anak yang sedang ujian psikologi kemudian saya diminta sebagai salah seorang ‘korban’ tanya jawab. Ia bertanya begini
“Apakah Anda mempunyai seorang sahabat?”
Well.. dengan lugas saya menjawab “tidak”.
Pertanyaan standar yang muncul kemudian adalah “mengapa?”
Karena saya tidak percaya manusia. Manusia ya hanya manusia. Mereka berbuat sekenanya. Datang saat susah, pergi saat bahagia. Demikian juga saya melakukannya. Mereka bilang “kamu terlalu sering menyakiti sesamamu”, kemudian mereka terkadang tidak berkaca apa yang mereka lakukan. Sahabat karib saya adalah Tuhan Yesus. Dia tidak pernah mengecewakan. Bercerita dengan manusia memang perlu, namun mereka tidak paham. Tidak akan pernah paham. Sekalipun dia yang sudah melahirkan saya. Karena manusia berbeda. Kita hanya ditugaskan untuk saling mengasihi, titik. Bukan saling memahami, titik.

Anak yang sedang ujian Psikologi itu mengangguk dan terus mencatat. Sungguh.. saya lebih suka segelas kopi =’)

Follow my Twitter @_heniie