Sabtu, 29 Oktober 2016

Nomer Dua dan Nomer Satu

Awal tahun 2015, aku membuka lembaran baru dengan seseorang. Kukenal ia lewat dunia maya sejak empat tahun yang lalu. Semua isi tulisanku adalah gambaran tentang perlakuan ia selama empat tahun itu.
Awal tahun 2015, aku memutuskan berkomitmen dengannya. Dengannya saja. Tidak ada pikiranku untuk bersama yang lain. Karena kurasa, hanya dia yang paling memahami. Tanpa status, kami jalani hari-hari kami. Jarang berkomunikasi dan saling memberi kabar adalah hal yang tidak asing lagi.
Komitmen kami terus berlanjut hingga setengah tahun. Ke gereja bersama adalah salah satu bentuk caranya meyakinkanku kalau aku dan dia kelak akan jadi satu.
Tiba di penghujung tahun, kejadian tidak terduga terjadi. Kudapati ia bersama perempuan lain. Kami bertengkar hebat. Sampai aku bilang "pernah aku minta status?" Dia menggeleng. Lanjutku "kita setuju cuma berkomitmen". Akhirnya kuusir dia.
Besoknya ia kembali. Kami baikan. Berapa bulan kejadian serupa berulang.
Semenjak itu, aku tidak percaya pada komitmen.

Easy come, easy go. Adalagi yang datang, membuat begitu banyak perbedaan. Di awal tahun 2016, aku menemukan harapan yang baru. Kuterima ia sepaket dengan masa lalunya. Kami punya status. Sayang komitmennya tidak ada. Hanya berlangsung beberapa bulan saja. Ia pergi meninggalkan luka yang amat dalam. Walau sebentar, luka itu mengajariku banyak hal. Dan semenjak itu, aku tidak percaya dengan status.

Di pertengahan tahun, lika liku kembali terjadi. Aku di ujung harapan. Di ujung kepastian, di ujung keputusan yang mengarah ke keputusasaan.
Ia menorehkan nomer satu untuk komitmen dan nomer dua untuk status.
Dan setelah lika liku ini, aku belajar untuk percaya (jika sebelumnya aku tidak percaya keduanya), aku percaya nomer satu dan nomer dua harus berjalan seiring.
Tidak boleh dipisah atau dibagi.
Karena ketika itu terjadi, sama saja dengan perempuan simpanan yang dengan rela untuk dibagi.

Aku tegas menolak jika seperti itu. Aku membuat komitmen untuk bertahan ke depan. Aku berstatus artinya aku belajar, bahwa satu-satunya alasanku ke depan adalah bersama orang tersebut.
Aku tidak percaya lagi mereka berjalan terpisah. Status dan komitmen berjalan seiring.
Mereka bukan nomer satu atau dua. Tapi mereka satu langkah, dua jejak. Satu tujuan dan dua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow my Twitter @_heniie